TEMPO.CO, SEMARANG -Tercatat hingga September 2017 ini Kepolisian Daerah Jawa Tengah sudah menangani sembilan kasus penyebar berita Hoax atau berita bohong melalui media mainstream. Tiga di antaranya sudah dilimpahkan ke Kejaksaan
“Konten yang paling banyak kami tangani adalah mereka yang menyebarkan kebencian, dan sara atas nama agama. Tujuannya untuk memecahbelah masyarakat,” kata Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Jateng, Komisaris Besar Lukas Adriani, saat diskusi pelantikan pengurus Ikatan Wartawan Online (IWO) Jateng, di Wisma Perdamaian, Selasa 26 September 2017.
Lukas menyebutkan kasus yang ditangani itu meningkat dari tahun sebelumnya, meski tak menyebutkan angka perbandingan, namun ia menjelaskan sejumlah kasus hoax yang ditangani menyebar secara masif melalui media sosial Facebook, dan media lain.
BACA: Mengapa Hoax dan Saracen Cepat Menyebar di Indonesia
Bahkan, di antara pelaku dan tersangka melarikan diri ke luar negeri. “Sehingga menghambat penyelidikan,” kata Lukas menambahkan.
Menurut Lukas, persoalan hoax sudah ada sejak abad 18, namun, hoax belum menemukan habitat yang tepat untuk berkembang biak. “Barang kali ini masanya. Ada entitas yang membuatnya mudah berkembang melalui media sosial dengan teknologi yang sedemikian rupa,”katanya.
Ia mengaku prihatin karena konten hoax yang disebar memiliki tatanan kepenulisan dengan bahasa jurnalistik profesional. Jika hal ini dibiarkan akan mengurangi kepercayaan publik terhadap media mainstream berkurang.
BACA: Bagaimana Tiga Petinggi Saracen Bagi Tugas di Bisnis Hoax
Ketua Komunitas Anti Hoax Indonesia, Septiaji Eko Nugroho, menyatakan bereedarnya hoax semakin bahaya saat kepercayaan masyarakat terhadap media mainstream mulai memudar. Hal itu berdasakan data pertemuan bersama jurnalis internasional di Google, yang menyebutkan kepercayaan masyarakat Amerika terhadap media mainstream hanya 30 persen. “Sisanya, mengandalkan informasi melalui media lainnya,” kata Septiaji.
Menuut dia, situs abal-abal yang terus berkembang menjadi salah satu penyebab penyebaran hoax. Bahkan, kini ada polarisasi antara pengguna media, yang sarat dengan pro dan kontra terhadap satu objek.
"Di Amerika ada situs yang dipercaya menyebarkan berita, jika ada hoax, maka ada ulasan yang aslinya,” kata Septiaji, menjelaskan. EDI FAISOL