Jakarta-Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya mengatakan instruksi pemutaran film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI merupakan pisau bermata dua bagi popularitas dan elektabilitas Panglima Tentara Nasional Indonesia Jenderal Gatot Nurmantyo. Belakangan Gatot dilirik beberapa partai untuk diusung sebagai calon presiden 2019.
"Orang-orang yang percaya dan cenderung menikmati propaganda Orde Baru mungkin akan simpati terhadap Pak Gatot. Namun, orang-orang yang percaya bahwa film G30S adalah bagian dari sebuah rezim yang juga memiliki banyak dosa politik, mungkin itu akan jadi boomerang," kata Yunarto ketika dihubungi via telepon, Jumat, 22 September 2017.
Yunarto berpendapat instruksi pemutaran ini hanya akan menarik simpati orang-orang yang memiliki nostalgia baik dengan Orde Baru. Sebaliknya, orang-orang yang menganggap Orde Baru sebagai sebuah rezim dengan banyak kesalahan politik justru akan antipati terhadap Gatot.
Yunarto melanjutkan, nama Gatot di masyarakat mulai muncul tetapi pengenalannya belum merata. Perbincangan mengenai sosok panglima dengan sepak terjang dan manuvernya baru populer di level elit, belum merata di seluruh segmen masyarakat.
"Sebetulnya baru dua nama yang bisa dianggap mumpuni untuk bersaing di 2019, yaitu masih pertarungan lanjutan antara Jokowi dan Prabowo," kata dia.
Yunarto memaparkan ada dua tantangan lain yang dihadapi Gatot. Pertama, nama Gatot terpendam dengan masih adanya Prabowo sebagai bakal calon yang sama-sama berlatar belakang TNI. Popularitas Prabowo, kata Yunarto, unggul karena pernah menjadi capres atau cawapres dalam pemilihan umum sebelumnya.
Kedua, citra TNI yang dipandang dekat dengan rezim Orde Baru dapat membuat sebagian kalangan masyarakat menolak pencalonan Gatot. "Sebagian kalangan aktivis dan orang-orang yang pernah mengalami kekerasan dan pelanggaran HAM pada masa Orde Baru mungkin akan cenderung menolak terhadap orang yang diidentikkan dengan rezim itu, termasuk capres dari kalangan TNI," ujar Yunarto.
BUDIARTI UTAMI PUTRI
TEMPO.CO, Jakarta -