TEMPO.CO, Jakarta - Koordinator Gerakan Indonesia Bersih, Adhie M. Massardi menilai Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi harus segera direvisi. Adhie menilai UU ini banyak mengandung kelemahan, termasuk mengenai pertimbangan sebagai dasar keberadaan KPK.
"Disebutkan bahwa KPK didirikan karena menimbang lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi," kata Adhie dalam diskusi di Jakarta, Sabtu, 23 September 2017. Pertimbangan itu dianggapnya keliru karena justru mendiskreditkan lembaga penegakan hukum lainnya.
"Bagaimana mungkin UU itu memandang buruk lembaga lain, yaitu kejaksaan dan kepolisian?"
Rencana melanjutkan revisi UU KPK semakin menguat, terutama setelah Panitia Khusus Hak Angket KPK di DPR RI akan segera habis masa kerjanya pada Kamis, 28 September 2017. Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah mengklaim revisi UU KPK bisa saja menjadi salah satu rekomendasi dari pansus. Pihak Istana mengatakan belum ada rekomendasi resmi dari DPR mengenai usul itu.
Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar membantah argumen Adhie. Menurut Abdul, pertimbangan UU KPK yang memandang buruk lembaga hukum lain itu tidak perlu dipersoalkan. "Karena itu memang situasi umumnya," ujarnya.
Poin lain yang mendorong perlunya revisi UU KPK, kata Adhie, adalah mengenai tugas supervisi. UU KPK, ujar dia, menyebutkan bahwa lembaga itu mempunyai tugas supervisi terhadap instansi yang berwenang untuk memberantas korupsi. "Namun faktanya, itu tidak dilakukan."
Abdul membantah Adhie. Ia menjelaskan bahwa KPK sudah melakukan tugas supervisi itu. "Pasal 44 UU KPK menyatakan bahwa dalam hal KPK berpendapat bahwa perkara itu diteruskan, KPK melaksanakan penyidikan sendiri atau dapat melimpahkan perkara itu kepada penyidik kepolisian atau kejaksaan."
FAJAR PEBRIANTO