IITCF: Musala di Hotel Berbintang di Indonesia Masih di Basement
Editor
Dian Andryanto
Kamis, 8 Juni 2017 14:22 WIB
TEMPO.CO, Mataram - Fasilitas ibadah seperti, musala, di hotel, bandar udara, dan area publik lain di Indonesia belum memenuhi kelayakan dan kenyamanan bagi warganya. Kondisinya sangat memprihatinkan karena penempatannya masih belum pantas. Ukurannya sangat kecil serta kondisinya bau dan pengap.
Keadaan tersebut dikemukakan Ketua Indonesian Islamic Travel Communication Forum (IITCF) Prijadi Abadi di Ball Room Islamic Center Nusa Tenggara Barat, Rabu, 7 Juni 2017. Hotel masih menempatkan lokasi ibadah, seperti musala, di basement. Lokasi yang strategis dijadikan kamar untuk dijual. ''Kita ini di negeri muslim. Kok musala di basement,'' katanya saat bedah buku Muslim Traveler Solution yang ditulisnya.
Baca juga:
Sambut Ramadan, TNI - Polri Gotong Royong di Masjid dan Musala
Seharusnya, fasilitas ibadah di hotel berbintang menjadi prasyarat untuk penetapan status hotel. Bukan semata hanya ada fasilitas spa atau yang lain. ''Kita harus berbenah dan introspeksi,'' ujarnya.
Menurutnya, kondisi tersebut jauh berbeda dengan negara jiran, yang penduduknya mayoritas Budha, seperti Jepang, Cina, Taiwan, dan Thailand. Penduduk yang beragama Islam di sana justru menjadi minoritas. ''Di Indonesia, penyediaan musala belum dianggap sebagai potensi industri,'' ucapnya.
Baca pula:
Musala Sediakan Food Box, Keluarga Pasien RSCM Bisa Makan Gratis
Dalam bukunya, Priyadi memberi contoh negara-negara Eropa Barat yang sering menjadi destinasi wisata para pelancong muslim, tapi punya tantangan sendiri soal makanan halal dan fasilitas salat. Selain itu, dia mencoba mengedukasi restoran dan hotel agar bisa memfasilitasi kebutuhan wisatawan muslim. Menurut Priyadi, para pelaku industri pariwisata di Eropa sudah menyadari potensi besar traveler muslim. Bahkan proyeksi nilai wisata halal pada 2020 bisa menyentuh US$ 2,6 triliun.
Priyadi menilai Indonesia harus terus memantapkan diri dalam mengakomodasi para wisatawan muslim yang berkunjung. Tentu yang paling utama adalah sertifikasi halal. Wisatawan muslim mancanegara sangat berpegang teguh pada sertifikat halal yang dikeluarkan otoritas setempat. "Sertifikasi dan standardisasi sudah menjadi acuan global. Kalau restoran mengaku halal, harus mencantumkan sertifikat halal karena itu tuntutan dasar," ucapnya.
Adapun pemerintah sendiri sedang menggiatkan wisata halal nasional. Dalam Global Travel Muslim Index (GMTI) 2017, Indonesia berada di urutan ke-3.
Simak:
Anggota Rombongan Raja Salman Sumbang Karpet untuk Musala Bali
Priyadi, mengatakan bukunya memberi gambaran bagi umat Islam jika ingin melancong ke sebuah tempat yang penduduknya mayoritas nonmuslim. Sebab, umat Islam sangat memperhatikan aspek kehalalan makanan dan minuman saat berkunjung ke sebuah tempat. "Saya mencoba mengulas bagaimana traveler muslim bepergian atau bertadabur alam, tapi tidak meninggalkan kewajiban sebagai seorang muslim," ucapnya.
Ia menilai banyak biro perjalanan wisata dalam negeri yang belum mampu mengakomodasi kebutuhan para traveler muslim untuk melancong ke suatu tempat. Banyak para pelaku industri pariwisata belum memfasilitasi kebutuhan wisatawan muslim. Padahal, dengan segala potensi yang ada, Indonesia seharusnya mempunyai keunggulan pada sektor ini.
"Biro travel muslim hanya berfokus pada urusan umrah dan haji. Namun bagaimana kalau mau jalan-jalan ke Amerika Serikat atau Australia, bingung karena tidak diakomodasi. Akhirnya pakai biro travel umum, tidak ada waktu salat, makanan juga tidak tahu halal atau tidak," tuturnya.
Priyadi mengamati banyak para biro travel muslim yang cenderung memilih zona nyaman, yakni haji dan umrah, sehingga destinasi lain tidak digarap dengan maksimal.
"Saat ini, dunia sudah melihat industri muslim traveler menjadi satu industri yang sangat potensial. Kita terus berusaha agar negara yang kita kunjungi menyediakan makanan halal dan tempat ibadah," katanya.
Priyadi melanjutkan, bagi seorang muslim, ke mana pun melangkah, dia tidak bisa meninggalkan kewajibannya untuk beribadah.
SUPRIYANTHO KHAFID