Pemandagan gugusan bukit kars Pianemo, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat, 19 November 2016. Kawasan tersebut merupakan salah satu tempat populer yang banyak dikunjungi wisatawan domestik ataupun internasional di Kabupeten Raja Ampat. TEMPO/Hariandi Hafid
TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah akan menyelidiki proses evakuasi Caledonian Sky, kapal pesiar berbendera Bahama yang karam di perairan Raja Ampat. Deputi Koordinasi Bidang Kedaulatan Maritim Kementerian Koordinator Kemaritiman Arif Havas Oegroseno menyatakan kerusakan terumbu karang akibat kejadian itu meluas karena proses evakuasi. “Seharusnya, kerusakan karang bisa diminimalkan,” kata dia saat dihubungi di Jakarta, Selasa, 24 Maret 2017.
Insiden itu terjadi pada Sabtu, 4 Maret 2017 lalu, ketika Caledonian Sky menabrak karang saat air laut surut. Kapal pesiar milik operator tur Noble Caledonia itu kandas setelah menyelesaikan perjalanan wisata mengamati keanekaragaman burung serta pementasan seni pukul 12.41 WIT. Kapal yang dinakhodai Kapten Keith Michael Taylor ini kandas dalam perjalanan menuju Bitung, Sulawesi Utara. Keith merujuk pada petunjuk GPS dan radar tanpa mempertimbangkan faktor gelombang dan kondisi alam lain.
Arif mengatakan Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan berinisiatif mengirim kapal penarik (tug boat) bernama TB Audreyrob Tanjung Priok untuk mengeluarkan kapal yang mengangkut 102 turis dan 79 anak buah kapal itu. “Tug boat tersebut akhirnya tidak berguna karena Caledonian Sky terlalu berat,” ujar Arif.
Selanjutnya, Keith pun berupaya menjalankan kapal berbobot 4.200 gross tonnage itu. Akhirnya, kapal itu berhasil berlayar kembali pukul 23.15 WIT pada hari yang sama. Arif mempertanyakan mengapa kapten memaksa menjalankan kapal tanpa memperhatikan kerusakan yang diakibatkan. “Mengapa kapten memaksakan kehendak, bukannya menunggu air pasang? Dampaknya kan jadi semakin besar,” ucapnya.
Kepala Pusat Penelitian Sumber Daya Perairan Pasifik Universitas Indonesia Ricardo F. Tapilatu mengatakan kerusakan yang ditimbulkan kapal itu 13.533 meter persegi. Menurut Ricardo, terdapat sedikitnya delapan genus karang yang rusak dan patah berkeping-keping akibat kejadian itu. Ratusan ikan yang biasanya mengelilingi lokasi tersebut pun hilang. “Pemulihannya memakan waktu minimal 10 tahun,” kata Ricardo.
Deputi Bidang SDM Iptek dan Budaya Maritim Kementerian Koordinator Kemaritiman Safri Burhanudin menuturkan pendalaman kronologi kejadian perlu dilakukan. Hal ini untuk mengetahui siapa yang melanggar standard operating procedure (SOP). “Apakah SOP evakuasi mereka (kapal Caledonian Sky) atau SOP petugas Indonesia,” tutur Safri.
Dia mengatakan insiden kapal karam pernah terjadi sebelumnya. Saat itu, kapal bernasib buruk tersebut adalah kapal pinisi yang terbawa arus deras hingga terdampar di perairan dangkal. Proses evakuasi yang dilakukan terhadap kapal itu adalah menariknya dan menunggu air laut sedang pasang. “Jadi tidak langsung dievakuasi tanpa memperhitungkan kondisi alam,” ujarnya.
Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Karliansyah menyebutkan timnya masih di lapangan untuk memastikan kerusakan. “Kami ingin memastikan nilai kerugian yang diakibatkan kapal itu,” kata dia. Nilai kerugian mungkin tidak hanya soal karang yang rusak, tapi juga ekosistem serta kemungkinan hilangnya mata pencarian penduduk setempat.