Akan Digusur, Penghuni Eks Lokalisasi di Kediri Unjuk Rasa
Editor
Kukuh S Wibowo Surabaya
Senin, 21 November 2016 21:36 WIB
TEMPO.CO, Kediri – Ratusan penghuni eks-lokalisasi Semampir, Kota Kediri berunjuk rasa ke balai kota setempat, Senin, 21 November 2016. Mereka memprotes ancaman pemerintah yang akan mengosongkan tempat pelacuran tersebut.
Dengan mengendarai sepeda motor dan kendaraan bak terbuka, ratusan penghuni eks-lokalisasi berorasi di depan pintu gerbang balai kota yang dijaga ketat aparat kepolisian dan satuan polisi pamong praja. “Kami akan bertahan sampai kapanpun,” teriak mereka sambil membentangkan poster berisi penolakan penggusuran.
Unjuk rasa dipicu somasi Pemerintah Kota Kediri yang memberi tenggat hingga 10 Desember 2016 kepada penghuni eks-lokalisasi untuk angkat kaki. Pemerintah menganggap mereka tak berhak menempati lahan milik Negara itu dan akan membersihkan aktivitas prostitusi di atasnya.
Somasi tersebut membuat penghuni eks-lokalisasi marah lantaran sebagian dari mereka telah mengantongi sertifikat hak milik atas rumah yang ditempati. Sedangkan sebagian lainnya terlanjur menyewa dari pemilik bangunan hingga beberapa tahun ke depan. Karena itu ketika pemerintah meminta seluruh penghuninya pergi, mereka menolak. “Apalagi warga juga tengah mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara atas keputusan penggusuran itu,” kata Supriyo, kuasa hukum warga.
Terdapat sedikitnya 227 bangunan yang dihuni 261 kepala keluarga atau 680 jiwa di kawasan eks-lokalisasi Semampir. Rata-rata bangunan tersebut sudah dipindahtangankan oleh pemilik bangunan hingga membuat status kepemilikan bangunan menjadi karut marut. Mereka merasa telah menghuni tempat seluas 3,2 hektar di bantaran Sungai Brantas itu selama puluhan tahun yang diwariskan secara turun temurun.
Meski telah melakukan orasi cukup lama, para pengunjuk rasa harus menelan kekecewaan lantaran keinginan bertemu Walikota Kediri Abdullah Abu Bakar tak bisa dipenuhi. Abubakar dikabarkan tengah keluar kantor.
Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Pemerintah Kota Kediri Apip Permana mengklaim upaya penutupan lokalisasi tersebut sudah sesuai prosedur dan tahapan sosialisasi. Sebelum memutuskan menggusur paksa para penghuni, pemerintah sudah terlebih dulu melakukan dialog dengan warga membahas langkah-langkah lanjutan yang diperlukan. “Dinsosnaker dan Koperasi jauh hari sudah memberikan program pelatihan kepada mereka,” kata Apip.
Sedangkan langkah pengosongan sudah diawali dengan sosialisasi yang dilakukan pada tanggal 9 November dengan penghuni lokalisasi. Besoknya, tanggal 10 November 2016 Pemerintah Kota Kediri melayangkan surat peringatan pertama kepada warga untuk membongkar sendiri bangunan mereka yang berdiri di atas lahan pemerintah. Pemberian surat teguran ini akan disampaikan hingga tiga kali, sebelum benar-benar dilakukan pengosongan paksa pada tanggal 10 Desember 2016.
Sejumlah ulama di Kota Kediri turut menyesalkan cara pemerintah Kota Kediri dalam melakukan penutupan lokalisasi tersebut. Pemerintah diminta menyiapkan solusi yang aplikatif paska penutupan itu sehingga tidak menimbulkan persoalan sosial di belakang hari. “Daripada uang negara dibuat bikin acara gak jelas, lebih baik membuka lapangan pekerjaan mereka,” sindir KH Anwar Iskandar, pengasuh Pondok Pesantren Al Amien Kediri.
Hal senada disampaikan Pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo KH Abdul Muid yang meminta pemerintah mengedepankan komunikasi kepada warganya. Banyaknya aksi protes atas penutupan itu menjadi bukti tidak cairnya hubungan pemerintah dengan rakyatnya.
HARI TRI WASONO