Demi Air, Desa di Lereng Merapi Jadi Hutan Konservasi
Editor
Mustafa moses
Minggu, 23 Oktober 2016 16:02 WIB
TEMPO.CO, Sleman - Masyarakat lereng Gunung Merapi di sisi barat mendeklarasikan daerah mereka sebagai hutan konservasi. Lahan-lahan perhutanan milik mereka seluas 305 hektare diubah menjadi hutan konservasi untuk menjaga ketersediaan air bagi masyarakat lereng gunung dan yang berada di hilir, termasuk perkotaan.
Hutan rakyat yang menjadi lahan konservasi ditandai dengan arak-arakan gunungan. Biasanya, gunungan itu berisi makanan dan buah-buahan. Kali ini, 13 gunungan berupa bermacam-macam pohon.
"Jika ingin hidup lebih baik dan berkah, kita harus tanam pohon. Untuk kita semua dan anak-cucu kita," kata Tomon Haryo Wirosobo, Kepala Desa Wonokerto, Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman, saat merti bumi di lereng Merapi, Ahad, 23 Oktober 2016.
Masyarakat di sekitar Sungai Krasak yang berhulu di Merapi ini memang getol menanam pohon. Setiap dua minggu sekali, Tomon, yang merupakan aktivis lingkungan, dan tim search and rescue akan menanam pohon.
Jenis pohon yang ditanam pun berbagai macam, terutama pohon tanaman keras dan sudah langka, seperti pohon kemenyan, kepel, nyamplung, cendana, dan bambu petung.
Tujuannya adalah pohon-pohon itu bisa menahan erosi, menyimpan air, dan menahan banjir jika sewaktu-waktu hujan deras mengguyur puncak gunung. Selain itu, bagi masyarakat yang berada di dekat dengan gunung aktif ini, pohon-pohon besar bisa melindungi mereka dari bahaya erupsi. "Untuk melindungi masyarakat jika ada bahaya dan hanya sampai di utara tanggul," ucapnya.
Selain itu, ujar Tomon, penanaman pohon ini untuk melindungi tanaman yang kini sudah langka, seperti pohon cendana, nogosari, kemenyan, gayam, mentaok, dan timoho. "Masyarakat di sini juga mendapat bantuan pohon nyamplung. Setiap rumah diberi lima pohon, bisa untuk sabun, briket, dan biosolar. Ini bisa menambah masukan ekonomi warga," tuturnya.
Pencanangan hutan lindung milik warga ini juga dihadiri KGPAA Paku Alam X yang juga Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Ia merasa bangga dengan masyarakat di lereng gunung yang menjadikan lahan sebagai hutan konservasi.
"Ini kegiatan yang sangat bagus. Pelestarian lingkungan tidak hanya tanggung jawab pemerintah. Masyarakat juga ikut. Inti kegiatan ini adalah bagaimana memelihara lingkungan dan hutan menjadi tanggung jawab semuanya. Saya titip warga. Bagaimana mereka diberdayakan melestarikan dan menjaga hutan lindung," katanya.
Ribuan warga di desa itu ikut prosesi ini, termasuk para akademikus dari beberapa universitas, seperti Universitas Gadjah Mada, Sekolah Tinggi Ilmu Pemerintahan, dan Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa APMD. Gunungan diarak dari Dusun Tunggul Arum menuju lokasi konservasi sekitar 3 kilometer melalui Dam Sabo.
MUH SYAIFULLAH