TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan upaya pembebasan tujuh warga negara Indonesia yang disandera terus dilakukan. Saat ini tim Crisis Center kembali dibentuk untuk mengumpulkan keterangan dan mencari cara membebaskan para sandera. "Ini (dibahas) di level kami dulu," ucap Luhut di Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Jakarta, Jumat, 24 Juni 2016.
Tim yang dikomandoi Sekretaris Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Letnan Jenderal Eko Wiratmoko itu terdiri atas para pejabat tinggi negara, antara lain Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu, Kepala Polri Jenderal Badrodin Haiti, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, dan Kepala Badan Intelejen Negara Sutiyoso.
Hingga Selasa nanti, kelompok ini masih akan membuka dan menelusur semua akses informasi yang ada terkait dengan penyanderaan yang terjadi di Laut Sulu, Filipina selatan, 20 Juni lalu, tersebut.
Luhut belum bersedia memberi banyak keterangan terkait dengan para penyandera yang disebut-sebut berasal dari kelompok radikal pimpinan Abu Sayyaf itu. "Mereka minta tebusan, tapi angkanya kita verifikasi dulu," ujarnya.
Ia juga belum bisa memberi informasi mengenai lokasi dan keadaan tujuh sandera yang merupakan anak buah kapal tarik Charles 001 dan tongkang Robby 152. Kedua kapal dikelola perusahaan pelayaran di Samarinda bernama PT Rusianto Bersaudara.
Tim Crisis Center juga akan menelusuri kaitan penyanderaan ini dengan kasus serupa yang terjadi Maret dan April 2016. Saat itu kelompok militan Abu Sayyaf menyandera 14 WNI dari dua kasus. Luhut juga telah meminta Menteri Ryamizard menguatkan komunikasi dengan Menteri Pertahanan Filipina terkait dengan pengamanan jalur laut. Hal itu sebagai tindak lanjut kesepakatan Joint Declaration yang sempat diinisiasi tiga negara, yaitu Indonesia, Malaysia, dan Filipina. "Kalau sudah masuk teritori Filipina, kita minta mereka jaga," kata Luhut.
YOHANES PASKALIS