Setelah Mengecor Kaki, Warga Kendeng Demo PTTUN Surabaya
Editor
Kukuh S Wibowo Surabaya
Kamis, 2 Juni 2016 15:03 WIB
TEMPO.CO, Surabaya - Sembilan perempuan lereng Pegunungan Kendeng, Jawa Tengah menggelar aksi teatrikal di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Surabaya, Kamis, 2 Juni 2016. Mereka berlenggak-lenggok di bawah bentangan kain putih sepanjang 100 meter.
Aksi damai ratusan warga itu bertujuan mengetuk nurani majelis hakim agar adil dalam memutus perkara pembangunan pabrik PT Semen Indonesia (Persero) Tbk. Mereka juga melantunkan tembang-tembang Jawa yang berisi rasa syukur pada pemberian bumi. “Namanya tembang Ibu Pertiwi dan Pucung,” kata Guritno, koordinator aksi.
Bentangan kain putih itu dibubuhkan tulisan bernada protes, yakni ibu bumi wis maringi, ibu bumi dilarani, ibu bumi kang ngadili (bumi yang memberi, bumi yang disakiti, bumi yang mengadili). "Bila bumi sudah memberikan kemakmurannya kepada manusia, namun justru dirusak, sudah seharusnya diserahkan kepada bumi lagi," tutur Guritno.
Sembilan perempuan yang menari teatrikal itu berasal dari Pati, Grobogan, dan Rembang. Mereka adalah Sukinah, Supini, Murtini, Surani, Kiyem, Ngadinah, Karsupi, Deni, dan Rimabarwati. Sebelumnya mereka juga pernah melakukan aksi mengecor kakinya dengan semen di depan Istana Negara beberapa waktu lalu.
Ini merupakan kedua kalinya warga lereng Kendeng mendatangi Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Surabaya. Tujuannya masih sama, mereka ingin menanyakan perkembangan kasus sengketa lahan dengan PT Semen Indonesia. "Warga juga ingin memastikan apakah hakim yang menyidangkan perkara ini bersertifikasi lingkungan atau tidak," ucap Guritno.
Setelah menggelar teatrikal, acara ditutup dengan doa bersama dan menyantap bubur merah-putih. Guritno mengatakan, dalam tradisi Jawa, bubur identik dengan persaudaraan. Dengan simbol bubur, kata Guritno, warga tetap menjaga kekompakan untuk melestarikan lingkungan.
Guritno berujar lahan seluas 2.700 hektare di Rembang terancam musnah untuk pembangunan PT Semen Indonesia. Wilayah yang meliputi dua kecamatan dan empat desa itu merupakan lahan pertanian untuk mata pencarian mereka. Menolak lahannya dijadikan pabrik semen, warga pun menggugat surat izin pendirian pabrik ke Pengadilan Negeri Tata Usaha Negara Semarang.
Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang mengabulkan permintaan mereka. Namun kasus ini berlanjut dengan pengajuan banding dari PT Semen Indonesia ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Surabaya. Berkas banding itu sampai sekarang masih diperiksa. “Kami berharap putusan hakim sama,” ujar Guritno.
SITI JIHAN SYAHFAUZIAH