Peringatan Darurat Militer Aceh, Aktivis Ingatkan Kasus HAM
Editor
Mustafa moses
Jumat, 20 Mei 2016 08:58 WIB
TEMPO.CO, Banda Aceh - Puluhan aktivis dan warga Aceh menggelar aksi memperingati penetapan Darurat Militer di Aceh, 13 tahun lalu, di Simpang Lima, Banda Aceh, Kamis, 19 Mei 2016. Mereka meminta negara menuntaskan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia masa lalu di Aceh.
Koordinator aksi, Hendra Saputra, mengatakan Aceh kini memasuki masa damai sejak MOU Helsinki ditandatangani pada 15 Agustus 2005. Setelah perdamaian, Aceh sedang membangun citra lewat perdamaian dan penerapan syariat Islam. Namun perdamaian di Aceh belum dibarengi dengan pemenuhan hak terhadap korban pelanggaran HAM pada masa lalu.
Mei adalah bulan yang penuh dengan peringatan terkait dengan kejadian masa lalu. "Khususnya pelanggaran HAM berat yang terjadi akibat konflik Aceh dan juga penerapan Aceh sebagai daerah Darurat Militer (DM)," kata Hendra.
Daerah Darurat Militer Aceh ditetapkan pada 19 Mei 2003 saat Presiden Indonesia dijabat Megawati Soekarnoputri. Ia memberikan izin pelaksanaan DM di Aceh selama enam bulan melalui Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 2003 dengan mengirimkan 30 ribu pasukan militer dan 12 ribu polisi ke Aceh. Komando utama di Aceh saat itu adalah Penguasa Daerah Darurat Militer di bawah Kodam Iskandar Muda.
Beberapa kebijakan dari status itu adalah diterapkan penggunaan kartu tanda penduduk baru yang dikenal dengan KTP merah-putih. KTP itu wajib dimiliki warga Aceh sebagai bagian untuk membedakan anggota GAM dan warga sipil. Bahkan beberapa camat dari militer ditempatkan di daerah basis konflik dari pihak TNI.
Hendra menambahkan, keberadaan organisasi masyarakat sipil juga terkekang dalam menyuarakan keadilan. Bahkan aktivitas media pun dipantau oleh aparat, seperti dilarang melakukan pemberitaan dari kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Akibat penerapan DM di Aceh, berbagai kasus pelanggaran HAM terjadi, berupa penyiksaan, pembunuhan, penghilangan orang secara paksa, pelecehan seksual, pemerkosaan, penangkapan tanpa proses hukum, serta pembredelan organisasi masyarakat sipil di Aceh. "Semoga pelanggaran HAM masa lalu di Aceh dapat segera diselesaikan dengan cara berkeadilan dan bermartabat guna pemenuhan hak korban," ujar Hendra.
Aktivis Aceh lainnya, Thamrin Ananda, dalam orasinya menyebutkan aksi ini bukan untuk mengorek luka lama, tapi untuk mengenangnya dan membuat masa depan lebih baik. "Salah satunya dengan memperhatikan korban dan menuntaskan kasus pelanggaran HAM di Aceh," tuturnya.
Aksi ini ikut dihadiri anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh, Bardan Sahidi, dan mantan Wali Kota Sabang, Munawar Liza Zainal. Aksi berlangsung tertib dengan pengawalan aparat kepolisian.
ADI WARSIDI