Awan panas meluncur kembali dari puncak Gunung Merapi ke arah Kali Gendol, Cangkringan, Sleman, Selasa (1/11). TEMPO/Arif Wibowo
TEMPO.CO, Klaten - Bambu bukan sekadar tanaman yang dapat dimanfaatkan untuk bahan bangunan atau kerajinan. Bagi warga lereng Gunung Merapi wilayah Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, tanaman bambu punya fungsi lebih vital, yakni sebagai penanda datangnya bahaya awan panas saat terjadi erupsi.
"Bambu kalau terkena panas bersuhu 100 derajat Celsius saja sudah mbledos (mengeluarkan bunyi nyaring akibat rongga batangnya pecah). Sedangkan wedhus gembel (awan panas) bisa sampai ratusan derajat Celsius,” kata Sukiman Mohtar Pratomo, 46 tahun, warga Dukuh Kembangan, Sidorejo, Kemalang, Selasa, 10 Mei 2016.
Dukuh Kembangan adalah permukiman tertinggi di lereng Gunung Merapi wilayah Klaten. Jaraknya hanya 4 kilometer dari puncak salah satu gunung teraktif di Indonesia itu. Sebelum erupsi Merapi 2010, Sukiman mengatakan, masih banyak bambu yang tumbuh di lereng berjarak sekitar 3 kilometer dari puncak gunung.
Selain tumbuh secara liar, rumpun-rumpun bambu itu adalah peninggalan para orang tua yang menanamnya secara turun-temurun. Sebelum ada alat peringatan dini bahaya (early warning system/EWS), bambu sudah menjadi sirene alami bagi warga Dukuh Kembangan.
"Senekat apa pun orangnya, kalau sudah dengar suara bambu patingnjlethot (suara bambu terbakar), pasti segera lari demi menyelamatkan diri,” ujar Sukiman, yang juga koordinator komunitas Radio Lintas Merapi. Namun nilai kearifan lokal yang dieram selama berpuluh atau beratus tahun di lereng Merapi itu luntur secara perlahan dan tergantikan teknologi EWS.
"Padahal EWS itu juga punya kelemahan. Bagaimana kalau EWS itu rusak saat terjadi erupsi atau mendadak mengalami gangguan kelistrikan sehingga sirenenya tidak berbunyi?” tutur Sukiman. Berkaca dari pengalaman ihwal tidak sedikit EWS yang mengalami kendala teknis, Sukiman bersama Radio Lintas Merapi menginisiasi kembali program penanaman bambu di lereng Merapi.
“Sekarang mulai digalakkan lagi kesadaran menanam bambu secara swadaya di area berjarak sekitar 3 kilometer dari puncak, di pinggir-pinggir Kali Woro,” ucap Sukiman.
Pelaksana tugas Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah Klaten Bambang Sujarwo mengapresiasi inisiatif warga Dukuh Kembangan menanam bambu sebagai upaya mengurangi risiko bencana. "Kearifan lokal semacam itu perlu dilestarikan. Namun jangan hanya tergantung dari situ, EWS dengan teknologi juga mesti dipatuhi," kata Bambang.