Teken Paris Agreement, Indonesia Harus Ajak Aktor Non-Negara
Editor
Untung Widyanto koran
Sabtu, 23 April 2016 05:10 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Institute for Essential Service Reform (IESR) menghargai keputusan pemerintah Indonesia yang menandatangani Paris Agreement di markas PBB di New York pada Jumat, 22 April 2016.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mewakili Indonesi meneken ketentuan yang mengadopsi Paris Agreeement yang telah disetujui pada Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim (COP) di Paris, Desember 2015.
“Ini berarti transformasi pembangunan rendah karbon di Indonesia harus berlangsung secara cepat dan masif yang harus tercermin dalam rencana dan implementasi pembangunan Indonesia mulai saat ini,” kata Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa dalam siaran persnya, Jumat, 22 April 2016.
Salah satu kesepakatan utama dalam Paris Agreement adalah membatasi kenaikan temperatur global di bawah 2 derajat celcius dan berusaha untuk mencapai 1,5 derajat.
Untuk mencapai target tersebut maka emisi global harus mencapai puncak sebelum 2030, setelah itu turun dan mencapai situasi karbon netral setelah 2050. Artinya setelah 2050, emisi gas-gas rumah kaca (GRK) yang dikeluarkan dan yang diserap haruslah berjumlah nol.
Untuk mendukung upaya ini, tiap negara diminta menyampaikan janji atau komitmennya mengurangi emisi GRK dalam dokumen Intended Nationally Determined Contribution (INDC).
Indonesia dalam INDC-nya berjanji menurunkan 29% emisi GRK dibawah skenario business as usual (BAU) dan tambahan 12% dengan bantuan internasional pada 2030. Penurunan ini setara dengan 0.848 GtCO2eq dan 1,191 GtCO2eq.
Analisis IESR menunjukkan untuk mendukung target Paris Agreement maka target komitmen INDC Indonesia sesungguhnya masih belum memadai. Setidaknya emisi GRK harus turun 30-35% lebih banyak dari yang sudah dijanjikan dalam INDC.
Emisi dari sektor lahan dan hutan serta energi (transportasi dan pembangkit listrik) merupakan penyumbang utama emisi GRK Indonesia sekarang hingga 2030. Dalam INDC, kontribusi penurunan terbesar diberikan oleh aksi mitigasi di sektor lahan.
Tetapi jika Indonesia ingin lebih ambisius maka emisi dari sektor energi yang berasal dari pembangkit listrik dan transportasi perlu diturunkan lebih dalam.
Fabby menjelaskan emisi sektor energi harus diturunkan sebanyak 40%-45% dari skenario BAU sektor energi INDC atau setara dengan 0.6 GtCO2e pada 2030. Untuk mencapai ini, katanya, maka bauran energi terbarukan harus melampaui 30% pada 2030, dan separuh dari kapasitas pembangkit listrik berasal dari teknologi energi terbarukan.
"Target konservasi dan efisiensi energi di Kebijakan Energi Nasional harus dapat tercapai, bahkan dilipatgandakan,” kata Fabby Tumiwa.
Dia menyatakan bahwa untuk dapat menghasilkan penurunan emisi yang ambisius, peran aktor-aktor non-pemerintah, seperti bisnis, NGO, pemerintah daerah, dan komunitas harus dioptimalkan.
“Pemerintah tidak dapat bekerja sendiri melakukan aksi mitigasi yang ambisius dengan hanya mengandalkan proyek-proyek pemerintah. Keterlibatan aktor non-negara merupakan sesuatu yang tidak dapat ditawar jika ingin mencegah kenaikan temperatur dibawah 2°C,“ katanya.
Pemerintah diingatkan agar memulai mengidentifikasi potensi penurunan emisi aktor-aktor non-pemerintah serta mencari cara untuk mengintegrasikannya dalam komitmen Nationally Determined Contribution (NDC), yang merupakan pengganti INDC dalam Paris Agreement.
Fabby mengingatkan pemerintah agar mulai merancang mekanisme monitoring, pelaporan dan verifikasi (MRV) untuk aktivitas mitigasi aktor-aktor non-pemerintah yang kelak akan diperhitungkan dalam komitmen NDC.
Adopsi Paris Agreement merupakan langkah awal yang penting untuk transformasi pembangunan Indonesia yang berkelanjutan dan berkeadilan. "Diperlukan komitmen nyata dan konsistensi pemerintah melalui kepemimpinan Presiden Joko Widodo untuk mewujudkan hal itu," kata Fabby.
UNTUNG WIDYANTO