FEATURE: Benteng Terakhir Hutan Dayak Tae  

Reporter

Editor

Anton Septian

Sabtu, 16 April 2016 15:57 WIB

Ilustrasi - Hutan (Mengapa Kita Butuh Hutan?). dok. KOMUNIKA ONLINE

TEMPO.CO, Jakarta - HUJAN pada pertengahan April ini menyisakan udara lembab pada pagi di Desa Tae, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Hutan masih basah. Jalan setapak licin. Keladi, layang, pakis, dan kantung semar tumbuh rimbun di sepanjang jalan.

Satu pohon durian besar berdiri kokoh di antara pokok-pokok karet dan manggis. Sungkai, bambu betung, aren, dan yang lain tumbuh menyebar. Masyarakat Dayak menyebut hutan ini sebagai "tembawang". “Ini adalah hutan warisan,” kata Tumenggung Anuk, tetua adat Dayak Tae.

Sejak berabad silam, leluhur Dayak membagi hutan untuk anak cucunya. Satu petak untuk satu garis keturunan. Inilah yang disebut tembawang, lahan yang pengelolaannya didasarkan pada aturan adat. Dari tembawang ini kehidupan masyarakat Dayak Tae digantungkan.

Desa Tae kental dengan adat istiadat. Penduduknya suku Dayak. Desa yang terletak di kaki Gunung Tiong Kandang ini adalah satu-satunya desa di Kalimantan Barat yang belum terjamah perusahaan perkebunan.



Tae adalah salah satu dari 31 ribu desa di seluruh Indonesia yang wilayahnya masuk ke dalam kawasan hutan. Sebagian besar lahannya masuk kawasan hutan lindung dan hutan produksi. Dari total luas 2.538,55 hektare, warga desa Tae hanya bisa memanfaatkan 16,54 persen saja, yaitu 419,97 hektare. Saat ini penduduk Tae mencapai 1.398 Jiwa. Artinya, tiap jiwa hanya bisa memanfaatkan 0,3 hektare lahan.

Kondisi ini membuat Tumenggung Anuk resah. Sebab bibit manusia tumbuh setiap hari, sedang bibit tanah tak mungkin tumbuh. Tiap tahun, lahan yang bisa diolah oleh satu orang Dayak Tae makin sempit.

Keresahan itu makin menjalar ketika pada tahun 2013 sebuah perusahaan tambang melakukan survei di Desa Tae. Ini pertanda awal perambahan hutan. Walau hingga kini belum ada tindak lanjut dari survei tersebut, warga dibayangi rasa was-was. “Pemerintah sering tak adil,” kata Tumenggung Anuk.

Ia menyebut investor diizinkan untuk memanfaatkan lahan dengan berbagai cara. Tak peduli pada masyarakat yang hidup di sekitarnya. Di sisi lain, pemerintah tutup mata terhadap keadaan penduduknya.

***


HUTAN adalah sumber kehidupan. Dari hutan, masyarakat Dayak Tae hidup.

Suku Dayak memiliki hukum tak tertulis dalam memperlakukan hutan mereka. “Tak ada yang boleh menebang pohon di tembawang,” ujar Tumenggung Anuk. Masyarakat Dayak percaya bahwa menebang pohon di hutan adat akan merusak keseimbangan alam. Kematian di tembawang dibiarkan sesuai kehendak alam. Jika ada pohon yang mati, barulah mereka boleh mengganti dengan tanaman lain. Jika ketahuan menebang pohon, hukumannya adalah dikeluarkan sebagai ahli waris.

Ada empat kampung yang masuk di wilayah Tae, yaitu Bangkan, Padakng, Peragong, Mak Ijing, Maet, Semangkar, Teradak, dan Tae. Masing-masing kampung punya 5-10 tembawang. Luasnya berhektar-hektar. Tapi tak ada yang tahu berapa tepatnya--dan memang tak boleh ada yang tahu. Tumenggung Anuk mengatakan, “Biar tidak dijual.”

Mereka hanya boleh menjual hasil hutan pada tengkulak yang datang ke desa. “Tapi tak banyak, sebagian kami gunakan sendiri,” kata Kepala Desa Tae Melkianus Midi.

Tumenggung Anuk mengajarkan bahwa manusia hanya sebatas "meminjam" dari bumi. Sebab itu, manusia tak boleh serakah dalam memanfaatkan sumber daya alam. Petuah inilah yang mengakar dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Dayak. Bahwa alam, “Adalah pinjaman dari Sang Pencipta.”



Terbitnya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 32 Tahun 2015 tentang Hutan Hak membawa harapan bagi suku-suku yang tinggal di desa, khususnya suku Dayak Tae. Beleid ini menyatakan bahwa hutan adat kini bukan lagi bagian dari hutan negara dan bisa dikelola oleh masyarakat adat setempat.

Meski demikian, peruntukkan itu bukan tanpa syarat. Ada yang harus diperjuangkan agar suku Dayak Tae bisa mencicipi potensi alam yang sudah dihuni sejak turun-temurun itu tanpa khawatir akan bersengketa dengan pemerintah.

Pertama, desa tempat tinggal mereka harus ditetapkan secara sah oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai desa adat. Selanjutnya, masyarakat hukum adat yang sudah disahkan berhak memberikan permohonan kepada Menteri untuk mengajukan penetapan kawasan hutan.

Setelah diterbitkan Surat Keputusan dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, maka status hutan yang semula hutan lindung berubah menjadi hutan adat yang bisa dikelola oleh masyarakat.

Perjuangan itu kini sedang berlangsung. Dalam mengajukan permohonan penetapan kawasan hutan, masyarakat wajib melampirkan peta spasial dan sosial. Selain letak geografis, peta itu juga memuat asal muasal sebuah kampung berdiri.

Maka pada 2011, warga desa Tae mulai melakukan pemetaan partisipatif. Hal ini merupakan upaya melepaskan status hutan mereka dari kawasan hutan negara. Peta partisipatif merupakan peta yang harus dilampirkan dalam permohonan pengesahan Desa Tae sebagai desa adat.

Pada tahun 2013, peta partisipatif Desa Tae disahkan oleh Bupati Sanggau. Kini suku Dayak di Tae tinggal menunggu agar desa mereka diakui sebagai desa adat. "Masyarakat Desa Tae menanti kedaulatan atas kampung mereka sejak lama,” kata Matheus Pilin, Direktur Perkumpulan Pancur Kasih, yang membantu warga melakukan pemetaan partisipatif.



Penantian itu tak secepat yang diharapkan. Hingga hari ini, Desa Tae belum disahkan menjadi desa adat. Proses pengesahan desa adat ini macet di pemerintah daerah. “Mandat konstitusi agar diterbitkan perda oleh eksekutif dan legislatif hingga hari ini masih berliku-liku,” ujar Pilin.

Di sisi lain, modernitas menyelusup dengan cepat ke dalam kehidupan muda-mudi suku Dayak. Para tetua adat khawatir tak ada lagi anak cucu yang peduli dengan hukum adat dan kearifan lokal.

Perlahan, pengetahuan tentang adat akan lenyap bersama wafatnya para tetua. Jika suku adat punah, pengelolaan hutan akan kembali kepada pemerintah. Dengan demikian, hutan juga lenyap--begitu yang dipercaya suku Dayak di Desa tae.

MAYA AYU PUSPITASARI

Berita terkait

Hari Bumi 22 April, Ford Foundation Ingatkan Soal Keadilan Tata Kelola Tanah Adat

11 hari lalu

Hari Bumi 22 April, Ford Foundation Ingatkan Soal Keadilan Tata Kelola Tanah Adat

Ford Foundation menilai Hari Bumi bisa menjadi momentum untuk mengingatkan pentingnya peran komunitas adat untuk alam.

Baca Selengkapnya

Ketua Adat Sorbatua Siallagan Ditangkap Polda Sumut Atas Laporan Toba Pulp Lestari

37 hari lalu

Ketua Adat Sorbatua Siallagan Ditangkap Polda Sumut Atas Laporan Toba Pulp Lestari

Sorbatua Siallagan gencar melawan upaya pencaplokan Toba Pulp Lestari. Ia dilaporkan karena menduduki kawasan hutan di area konsesi PT TPL.

Baca Selengkapnya

Komitmen Iklim Uni Eropa Dipertanyakan, Kredit Rp 4 Ribu Triliun Disebut Mengalir ke Perusak Lingkungan

39 hari lalu

Komitmen Iklim Uni Eropa Dipertanyakan, Kredit Rp 4 Ribu Triliun Disebut Mengalir ke Perusak Lingkungan

Sinarmas dan RGE disebut di antara korporasi penerima dana kredit dari Uni Eropa itu dalam laporan EU Bankrolling Ecosystem Destruction.

Baca Selengkapnya

Ombudsman Minta OIKN Hati-hati di Pembebasan Lahan Warga Kawasan IKN

41 hari lalu

Ombudsman Minta OIKN Hati-hati di Pembebasan Lahan Warga Kawasan IKN

Ombudsman meminta Otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN) hati-hati dalam pembebasan lahan warga di kawasan IKN.

Baca Selengkapnya

Terkini: Jokowi akan Resmikan Bandara Mutiara Sis Al-Jufri Pasca Kena Gempa 2018, Polemik Pembangunan IKN Terakhir Dugaan Penggusuran Masyarakat Adat

42 hari lalu

Terkini: Jokowi akan Resmikan Bandara Mutiara Sis Al-Jufri Pasca Kena Gempa 2018, Polemik Pembangunan IKN Terakhir Dugaan Penggusuran Masyarakat Adat

Dalam waktu dekat Presiden Jokowi bakal meresmikan Bandara Mutiara Sis Al-Jufri, Palu, setelah direkonstrasi usai terdampak Gempa Palu pada 2018.

Baca Selengkapnya

Reaksi DPR hingga Amnesty International Soal Rencana Penggusuran Warga Pemaluan demi IKN

45 hari lalu

Reaksi DPR hingga Amnesty International Soal Rencana Penggusuran Warga Pemaluan demi IKN

Anggota DPR mengingatkan jangan sampai IKN membuat warga setempat jadi seperti masyarakat adat di negara lain yang terpinggirkan.

Baca Selengkapnya

Masyarakat Adat di IKN Nusantara Terimpit Rencana Penggusuran dan Dampak Krisis Iklim, Begini Sebaran Wilayah Mereka

45 hari lalu

Masyarakat Adat di IKN Nusantara Terimpit Rencana Penggusuran dan Dampak Krisis Iklim, Begini Sebaran Wilayah Mereka

AMAN mengidentifikasi belasan masyarakat adat di IKN Nusantara dan sekitarnya. Mereka terancam rencana investasi proyek IKN dan dampak krisis iklim.

Baca Selengkapnya

Pakar Sosiologi Unair Tekankan Dialog Hukum Adat dan Negara untuk Selesaikan Konflik Masyarakat Adat-IKN

46 hari lalu

Pakar Sosiologi Unair Tekankan Dialog Hukum Adat dan Negara untuk Selesaikan Konflik Masyarakat Adat-IKN

Dialog, komitmen, dan simpati dari pihak IKN terhadap masyarakat lokal dinilai belum terwujud.

Baca Selengkapnya

Anggota DPR: Masyarakat Adat di IKN Jangan Diperlakukan seperti Aborigin di Australia

47 hari lalu

Anggota DPR: Masyarakat Adat di IKN Jangan Diperlakukan seperti Aborigin di Australia

Anggota DPR mengatakan bahwa jangan sampai IKN membuat warga setempat menjadi seperti masyarakat adat di negara-negara lain yang terpinggirkan.

Baca Selengkapnya

Soal Ultimatum Otorita IKN, Pakar Sebut Hukum Tak Melindungi Masyarakat Adat

47 hari lalu

Soal Ultimatum Otorita IKN, Pakar Sebut Hukum Tak Melindungi Masyarakat Adat

Pakar hukum Unair menyebut sejumlah kebijakan terbaru otorita IKN sebagai salah satu bukti hukum yang belum melindungi masyarakat adat.

Baca Selengkapnya