Bambang Widjojanto: Ada Diskriminasi dalam Revisi UU KPK
Editor
Elik Susanto
Rabu, 17 Februari 2016 21:22 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Mantan pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi, Bambang Widjojanto, mengatakan ada diskriminasi terhadap perbaikan aturan pemberantasan korupsi dan pemberantasan terorisme. Diskriminasi ini terlihat dari kebijakan perumusan revisi Undang-Undang tentang KPK dan revisi UU Terorisme. Dua undang-undang ini masuk Program Legislasi Nasional DPR tahun ini.
Menurut Bambang, yang ditemui di Kedai Tempo, Rabu, 17 Februari 2016, dalam revisi UU Terorisme bakal ada perluasan kewenangan bagi lembaga yang mengurusi penanganan terorisme. Sedangkan dalam revisi UU KPK, kata Bambang, justru ada upaya mempersempit ruang gerak komisi antirasuah. "Kewenangan lembaga yang menangani terorisme bertambah, tapi kewenangan KPK akan dibatasi," ujarnya.
Secara logika, kata Bambang, hal itu terjadi karena apa yang ditangani KPK menyangkut persoalan kekuasaan. Jika menyangkut kekuasaan, menurut dia, kebijakan yang hendak diambil cenderung melindungi kekuasaan yang tak ingin dikontrol. "Kalau terorisme menyangkut hajat hidup orang banyak. Kalau hidup orang banyak bisa dihajat, kekuasaan tidak boleh, itu saja," ucapnya.
Soal Dewan Pengawas yang akan dimasukkan ke revisi UU KPK, kata Bambang, posisinya harus memperkuat kewenangan KPK. Jika Dewan Pengawas sebatas mengawasi etik dan perilaku pimpinan KPK, hal itu masih bisa diterima. Namun, bila perannya menyangkut teknis pekerjaan komisioner, jelas harus ditolak.
Kamis, 18 Februari 2016, DPR menggelar sidang paripurna dengan agenda memutuskan kelanjutan revisi UU KPK. Sejumlah fraksi menolak revisi dilanjutkan karena draf perubahan mengarah ke pelemahan KPK. Seperti Fraksi Gerindra, yang tetap menolak UU KPK direvisi. Fraksi Demokrat juga menolak bila dalam draf revisi tidak menguatkan KPK.
Ihwal revisi UU Terorisme, Jaksa Agung M. Prasetyo, dalam rapat di DPR pada Senin, 15 Februari 2016, mengusulkan perluasan kategori tindak pidana terorisme. Jaksa Agung mencontohkan, soal masuknya barang yang berpotensi sebagai bahan peledak, memperdagangkan senjata kimia, biologi, radiologi, mikroorganisme, tenaga nuklir, serta zat radioaktif untuk melakukan tindak pidana terorisme, pelakunya bisa dijerat Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
DIKO OKTARA | ELIK S