Calon Komisioner Komisi Yudisial (KY) Aidul Fitriciada Azhari bersiap mengikuti uji kelayakan dan kepatutan di Komisi III DPR RI, Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, 21 Januari 2016. TEMPO/Dhemas Reviyanto
TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Komisi Yudisial Farid Wadjri meminta Presiden Joko Widodo segera melantik dua calon pemimpin KY yang telah disetujui Dewan Perwakilan Rakyat melalui rapat paripurna. Keduanya adalah Lektor Kepala Fakultas Hukum Universitas Pasudan Jaja Ahmad Jayus serta mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Solo Aidul Fitriciada Azhari.
Keduanya akan melengkapi jumlah tujuh pemimpin KY karena Jokowi hanya melantik lima orang setelah Komisi Hukum DPR menolak mantan hakim konstitusi Harjono dan dosen FH Universitas Indonesia, Wiwiek Awiati. "Agar seluruh syarat formal KY segera terpenuhi dan dapat bekerja secara optimal," kata Farid melalui pesan pendek, Selasa, 26 Januari 2016.
Dalam rapat paripurna, semua anggota parlemen Senayan menyatakan setuju saat Wakil Ketua DPR Fadli Zon membacakan hasil uji kelayakan dan kepatutan atas Jaja dan Aidul. Paripurna sepakat dengan keputusan Komisi Hukum bahwa kedua nama tersebut layak menjadi pemimpin lembaga pengawasan hakim jilid ketiga atau periode 2015-2020.
Farid mengatakan lembaganya mengapresiasi langkah DPR segera melengkapi jumlah pemimpin KY yang telah lebih dari satu bulan hanya dipimpin lima orang. Selama ini beberapa pemimpin merangkap tugas guna mengisi kekosongan, seperti Ketua KY Maradaman Harahap, yang merangkap sebagai ketua bidang pencegahan, dan Farid, yang merangkap sebagai ketua bidang. "Rekan yang baru akan membawa organisasi semakin cepat berjalan," tuturnya. "Pastinya juga akan sejalan dengan anggota yang lebih dulu bergabung."
Proses seleksi calon pemimpin Komisi Yudisial menarik perhatian publik saat Komisi Hukum menggugurkan dua unggulan di kategori akademikus, yaitu Harjono dan Wiwiek. Keputusan parlemen tersebut menyebabkan panitia seleksi harus memilih dua nama baru dari total enam calon yang berlatar belakang akademikus. Meski menuai kritik, pansel akhirnya memilih Jaja dan Aidul, yang sebenarnya punya banyak catatan dari masyarakat selama seleksi. "Keduanya memenuhi parameter calon yang telah disepakati panitia," kata anggota pansel, Asep Rahmat Fajar, awal Desember lalu.
Selama seleksi, Aidul sempat dicecar soal independensi akibat terlalu dekat dengan Ketua Umum Partai Hanura Wiranto. Aidul dilaporkan pernah menulis buku biografi tentang Wiranto saat menjabat Panglima Angkatan Bersenjata. Aidul juga dilaporkan sempat mendesak Rektor Universitas Gajah Mada Pratikno menerima Wiranto dalam program doktoral. "Saya memang menulis, tapi saya jamin independen," katanya saat tes wawancara. "Saya tak pernah memaksa masuk Wiranto ke UGM."
Sedangkan Jaja mendapat catatan dari masyarakat dan lingkup internal Komisi Yudisial. Selama lima tahun menjabat Ketua Bidang Sumber Daya Manusia dan Advokasi, Jaja dilaporkan kurang berkontribusi secara maksimal. Ia juga dituding sebagai pemimpin yang ogah berpolemik dalam pengambilan putusan. "Justru saya yang mendorong peningkatan kesejahteraan karyawan agar marwah lembaga terjaga," katanya.