Dua jurnalis asal Perancis, Marie Valentine Louise Bourrat dan Thomas Charles Dandois, ikuti sidang vonis di Pengadilan Jayapura, Papua, 24 Oktober 2014. TEMPO/Cunding Levi
TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Menteri Luar Negeri Abdurrahman Mohammad Fachir membantah adanya larangan masuk bagi jurnalis asing ke Papua untuk meliput soal kasus hak asasi manusia. Menurut Fachir, apa pun materi liputannya, jurnalis dapat masuk ke Papua. "Enggak, enggak ada pelarangan," ujar Fachir di Istana Merdeka, Rabu, 13 Januari 2016.
Fachir mengatakan perlakuan kepada para jurnalis asing sama seperti perlakuan kepada tiap tamu negara yang datang ke Indonesia. Misal, kata dia, ditanyakan apa keperluannya dan siapa saja yang akan ditemui selama berada di Indonesia. "Tapi tak ada pengawasan maupun larangan," kata Fachir.
Sebelumnya, jurnalis asal Prancis, Cyril Payen, ditolak masuk ke Papua setelah film dokumenternya yang berjudul Forgotten War of The Papua disiarkan pada 18 Oktober lalu. Pada November, perwakilan Indonesia di Bangkok menyebut Payen sebagai persona non grata dan visanya untuk masuk Papua Barat ditolak. Padahal Presiden Joko Widodo telah mencabut larangan jurnalis asing datang ke Papua pada Mei 2015. Dengan demikian, semestinya, jurnalis asing tak perlu lagi meminta izin Kementerian Luar Negeri untuk masuk ke Papua.
Indonesia telah lama bersikap hati-hati terhadap media asing yang akan meliput konflik di pulau ujung Indonesia timur itu. Para jurnalis mancanegara harus mengisi formulir izin meliput yang melalui berbagai lembaga pemerintah. Itu pun jarang dikabulkan. Jurnalis asing yang ketahuan meliput tanpa izin di sana bisa dijatuhi hukuman pidana.
Tahun lalu, dua wartawan Prancis, Thomas Dandois dan Valentine Bourrat, dijatuhi hukuman penjara. Mereka tertangkap mencoba membuat film dokumenter tentang gerakan separatis di Papua.