Susuri Papua: Terjebak Kabut Tebal, Bertemu Sopir Penginjil
Editor
Maria Rita Hasugian
Rabu, 6 Januari 2016 09:46 WIB
TEMPO.CO, Karubaga - Kabut tebal menutupi jalan tanpa aspal dari Tolikara menuju Wamena, Papua. Saat itu, jam sudah menunjukkan pukul 4 sore pada Sabtu, 2 Januari 2016. Supir taksi yang Tempo tumpangi, Nico Hisage, menjelaskan, kabut tebal memang setiap hari turun menjelang sore hingga malam di ruas jalan ini.
“Kabut lebih tebal biasanya terjadi di jalan menuju Puncak Jaya,” kata Nico bercerita sambil menyetir mobilnya.
Sudah menjadi rutenya setiap hari melalui jalan ini sehingga Nico, tanpa bantuan lampu kabut, tahu arah aman menembus kabut. Beberapa truk berjalan beriringan dari arah Wamena sambil membunyikan klakson untuk memastikan ruas jalan aman. Beberapa taksi berlari kencang untuk lolos dari kabut dan kubangan lumpur.
Hujan deras menambah perjalanan kami semakin berbahaya. Ini awal musim hujan setelah 5 bulan musim kemarau. Jarak pandang sore itu berkisar 3-4 meter. Jurang menganga di kanan dan kiri jalan. Dari ketinggian sekitar 3.000 meter dari permukaan laut, semuanya tampak putih keabu-abuan. Puncak pegunungan yang menjulang tinggi tak terlihat.
Menurut Nico, hujan deras terjadi di puncak pegunungan sehingga kabut tebal turun ke jalan. Memang, ia berujar, waktu terbaik untuk melintas di jalan ini adalah sebelum pukul 13.00 untuk menghindari kabut tebal. Ia nekat menerjang kabut tebal karena sudah mengenali medan di sepanjang ruas Tolikara-Wamena.
Beberapa kali terjadi kecelakaan, taksi masuk ke jurang. Namun ia meminta Tempo untuk tak khawatir. Maklum, penumpang taksi yang disopiri Nico hanya Tempo. Ia dan kernetnya semula tidak bermaksud ke Wamena karena sepi penumpang. Kemudian, ia teringat sudah memesan kayu untuk membuat kandang babinya. “Ibu tak usah khawatir, kita aman sampai Wamena, tapi kita berhenti sebentar ambil kayu untuk kandang babi saya,” ujarnya.
Sekitar 1 jam berjalan, kabut tebal mulai menghilang. Puncak pegunungan mulai terlihat. Tampak tumpukan kayu teronggok di pinggir jalan di Distrik Pogu, Tolikara.
Melewati Pogu, Nico melanjutkan cerita tentang pertarungan hidup warga Papua dan perubahan perilaku seiring Papua semakin terbuka dengan kehadiran para pendatang. “Saya mantan preman yang bertobat,” kata pria yang mengaku tidak makan pinang dan rokok.
Kernetnya, yang duduk di belakang, tertawa. Pasalnya, ia sedang asyik mengunyah pinang dan perokok. “Makan pinang itu kesenangan setan,” ujar Nico sambil membujuk kernetnya berhenti makan pinang dan merokok. Selain merusak kesehatan, menurut dia, hal itu merupakan pekerjaan setan untuk merusak orang Papua.
Nico kemudian mengutip ayat-ayat dari kitab suci, Alkitab, tentang larangan dan perintah Tuhan. Kernetnya tersenyum tanpa menanggapi. “Kamu tak percaya, ini baca Alkitab,” kata Nico sambil mengambil sebuah buku yang ditaruhnya di tempat penyimpanan barang di pintu mobilnya.
Pria Papua yang murah senyum ini kemudian menuturkan ia dulu seorang preman yang mangkal di Terminal Wamena, Kabupaten Jayawijaya. Ia berubah setelah bosan dengan kehidupannya. Tersentuh dengan nasihat seorang pendeta, ia memilih jadi sopir sambil menyampaikan Injil atau kabar baik kepada para penumpangnya. “Akhirnya, jemaat suka dan sebut saya penginjil,” ujar Nico tertawa.
Memasuki Kota Wamena, Nico membuka identitasnya bahwa ayahnya seorang mantan perwira TNI di Papua. Namun ia menolak mengikuti jejak ayahnya sebagai militer. Menjadi preman, ia kemudian bertobat, lalu memilih jadi sopir dan peternak babi. “Harapan saya, Papua lebih baik lagi.”
MARIA RITA
Baca juga:
Jurang Menganga, Kabut Tebal antara Tolikara... oleh tempovideochannel