Bambang Widjojanto (kanan) bersama korban kriminalisasi kasus surat pembaca Kho Seng Seng, Korban salah tangkap Ando Supriyanto (kiri), berbicara dalam diskusi gelar perkara pemidanaan yang dipaksakan dalam kasus kriminalisasi, di Gedung Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, 15 Mei 2015. TEMPO/Imam Sukamto
TEMPO.CO, Jakarta - Direktorat Jenderal Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP). Beleid ini mengatur di antaranya mengenai ganti rugi bagi korban salah tangkap dan penahanan.
"Ini yang harus kami revisi karena jauh sekali dari semangat melindungi hak asasi manusia," kata Widodo Ekatjahjana, Direktur Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, di kantornya, Jumat, 20 November 2015.
Widodo menjelaskan, Pasal 9 ayat 1 Peraturan Pemerintah ini mengatur ketentuan ganti rugi bagi korban salah tangkap maupun salah tahan hanya sebesar Rp 5.000 sampai Rp 1 juta. Pada Pasal 9 ayat 2 mengatur, jika korban salah tangkap mengakibatnya cacat sampai meninggal dunia, diberikan ganti rugi sebesar Rp 3 juta.
Widodo mengatakan besaran ganti rugi tersebut perlu direvisi dengan nilai yang pantas. "Ada pakai nilai emas dan rupiah sesuai kondisi sekarang," katanya.
Selain itu, menurut Widodo, mekanisme pencairan ganti rugi terhadap korban juga berbelit-belit. Pada Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 27 menyebutkan tata cara pemberian ganti rugi diberikan tiga hari setelah penetapan diucapkan oleh hakim. Lalu diberikan ke penuntut umum, penyidik, dan Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan. Selanjutnya Kementerian Keuangan yang membayar terhadap korban.
Karena mekanisme itu berbelit-belit, Widodo mengatakan pemerintah akan memangkasnya sehingga ganti rugi dapat diterima langsung oleh korban dari Kementerian Keuangan. Ia berharap lembaganya dapat menuntaskan revisi regulasi tersebut sebelum tanggal 10 Desember tahun ini. Tanggal tersebut bertepatan dengan Hari Hak Asasi Manusia. "Mudah-mudahan sebelum 10 Desember sudah diundang-undangkan," katanya.