Mafia Obat & Suap Dokter: Menteri Kesehatan Gandeng KPK
Editor
Widiarsi Agustina
Rabu, 4 November 2015 12:15 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Kesehatan Nila F. Moeloek berencana menggandeng Komisi Pemberantasan Korupsi untuk pencegahan dan penanganan kasus gratifikasi bagi dokter. “Nanti kami akan kerja sama dengan KPK membuat aturan apa yang boleh dan yang tidak boleh diterima dokter,” katanya di kantornya, kemarin.
Nila mengatakan Kementerian Kesehatan perlu mengatur lebih rinci apa saja yang boleh dan tidak diterima dokter. Tapi, menurut dia, seorang dokter boleh menerima hadiah dari perusahaan obat bila ditujukan untuk pengembangan kemampuan si dokter. “Untuk membuat riset dan penelitian bagi dokter boleh karena meningkatkan keahlian dokter,” katanya.
Namun Nila tidak setuju bila hadiah dari perusahaan farmasi yang diberikan secara individu kepada dokter. “Seperti hadiah jalan-jalan,” katanya.
Pernyataan Nila ini merespons hasil investigasi majalah Tempo pekan ini tentang strategi perusahaan farmasi memberikan dokter hadiah pernak-pernik menawan hingga mobil mewah dalam bisnis obat-obatan di Tanah Air. Imbalannya, dokter diminta menuliskan resep obat yang diproduksi perusahaan farmasi pemberi hadiah.
SIMAK:
EKSKLUSIF: Suap Obat, Bos Rumah Sakit Blak-blakan Terima Duit
EKSKLUSIF: Suap Obat, Rumah Sakit Pemerintah Jadi Target Kolusi
Berdasarkan data yang dimiliki Tempo, dokumen yang diduga dimiliki PT Interbat—nama perusahaan farmasi di Sidoarjo, Jawa Timur—menggelontorkan duit hingga Rp 131 miliar dalam tiga tahun, yaitu sejak 2013 hingga 2015. Uang itu diberikan kepada para dokter. Tujuannya, diduga agar dokter meresepkan obat-obatan produksi Interbat.
Praktek kolusi antara dokter dan perusahaan farmasi ini dibungkus dalam bentuk kerja sama. Dalam kerja sama itu, dokter akan menerima diskon 10-20 persen penjualan obat dari perusahaan farmasi. Namun, yang sangat janggal, diskon tersebut diberikan dalam bentuk uang dan fasilitas lainnya.
Iwan Dwiprahasto, dokter dan guru besar farmakologi dari Universitas Gadjah Mada, menuturkan nilai bisnis obat yang fantastis membuat perusahaan farmasi berlomba melimpahi dokter dengan hadiah dan komisi. Tahun ini omzet farmasi Indonesia Rp 69 triliun.
Dana yang dipakai perusahaan untuk menyervis dokter bisa mencapai 45 persen dari harga obat. “Obat jadi mahal karena harus membiayai dokter jalan-jalan ke luar negeri, main golf, atau beli mobil,” kata Iwan, akhir September lalu.
Padahal, kata Iwan, farmasi lokal tak melakukan riset obat. Mereka tak punya produk paten. Yang diproduksi di Indonesia kebanyakan obat yang telah usai masa patennya alias generik. Lantaran diberi merek—dikenal dengan istilah obat generik bermerek atau me too—dan dipromosikan habis-habisan, harganya pun melambung. Dokter yang mendapat limpahan hadiah dari perusahaan farmasi lebih suka meresepkan obat me too daripada generik.
SIMAK:
EKSKLUSIF, Suap Dokter: Begini Akal-akalan Orang Farmasi
Eksklusif: Terkuak, 40 Persen dari Harga Obat buat Menyuap Dokter
Iwan, yang juga menjabat Ketua Komite Nasional Penyusunan Formularium Nasional—lembaga yang menyusun daftar obat untuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan—pernah melakukan penelitian pada 2009 dan menemukan harga obat generik bermerek bisa sampai 80 kali harga obat generik.
Ketua Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia Zainal Abidin mengakui anggotanya menerima gratifikasi dari perusahaan obat. “Iya, tapi tidak sebanyak dulu,” katanya, seperti dikutip dari majalah Tempo. Menurut dia, dulu banyak anggota menerima gratifikasi dari perusahaan obat lantaran belum ada aturannya. “Sekarang semua hati-hati.”
Pelaksana tugas Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Johan Budi Sapto Pribowo, mengatakan KPK tidak pernah mengusut gratifikasi yang diduga didapat para dokter dari perusahaan farmasi. Sedikitnya jumlah anggota KPK membuat para penyidik harus menunggu laporan dan menelaahnya sebelum menginvestigasinya.
Tapi, kata Johan, lembaganya tak bisa menjerat dokter yang berstatus bukan pegawai negeri. “Kalau dokter swasta tidak bisa. Aturan di undang-undang itu melekat pada penyelenggara negara atau pegawai negeri,” ucapnya. Tapi korporasi bisa dijerat. “Syaratnya ada penyelenggara negara atau pegawai negeri,” tuturnya.
MITRA TARIGAN | FRISKI RIANA | MAJALAH TEMPO