TEMPO.CO, Aceh Singkil - Gereja yang berdiri di belakang rumah penduduk di Desa Suka Makmur, Gunung Meriah, Aceh Singkil itu, kini sudah tak berbentuk. Hanya tinggal lambang salib di gerbang utama yang menadakan bahwa reruntuhan bangunan yang hangus terbakar itu dulu adalah gereja. Sebuah pahatan bertuliskan HKI tampak suram di beton berwarna kehitaman akibat kebakaran. Sementara bagian belakangnya berserak batu bata bekas bangunan dan seng bekas atap yang juga telah berwarna hitam gosong.
Saat Tempo datang ke sana, Sabtu, 17 Oktober 2015, belasan polisi dan tentara bersenjata terlihat berjaga di sekitar gereja. Mereka berjaga mencegah bentrokan lanjutan terjadi.
Menurut Ewen Silitonga, 32 tahun, pendeta gereja Aceh Singkil yang dibakar, penyerangan terhadap gereja beberapa kali terjadi dan sudah berlangsung sejak puluhan tahun lalu. Yang terbaru adalah penyerangan dan pembakaran gereja pada Selasa, 13 Oktober lalu. Seorang warga dikabarkan meninggal dalam penyerangan tersebut. Ribuan lainnya mengungsi keluar Singkil.
Ewen memiliki tiga harapan kepada pemerintah Kabupaten Aceh Singkil dan Pemerintah Provinsi Aceh pasca kejadian pembakaran gereja itu. “Saya cuma berharap tiga hal,” katanya. Pertama, "Pemerintah peduli terhadap minoritas, terkhusus soal beribadah," ujarnya. Kedua, ia meminta pemerintah menjaga supaya agama tidak diobok-obok pihak ketiga yang dapat berakibat pecahnya konflik kehidupan antar umat beragama. Dan ketiga, "Ini adalah yang terakhir kali terjadi."