Sejumlah nama tertulis di nisan kuburan massal eks anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) di dusun Plumbon, Ngalian, Semarang, 6 Juni 2015. Kuburan massal ini berada di tengah hutan KPH Kendal. TEMPO/Budi Purwanto
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Hak Asasi Manusia Luhut Binsar Panjaitan mengatakan pemerintah tak akan meminta maaf terhadap korban tragedi pembantaian anggota maupun simpatisan PKI pada 1965. Pemerintah lebih fokus pada upaya rekonsiliasi.
Menurut Luhut, saat ini sedang dicari format rekonsiliasi yang tepat dan sesuai dengan kondisi terkini Indonesia. "Kalau seperti rekonsiliasi yang di Afrika itu kan harus membongkar masa lalu dulu," kata Luhut di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu, 30 September 2015. "Kalau semua rekonsiliasi, nanti sampai kejadian Westerling juga minta rekonsiliasi."
Diakui Luhut, proses rekonsiliasi bukan merupakan hal yang mudah. Apalagi kebanyakan pelaku sejarah sudah meninggal dunia. Yang perlu dilakukan saat ini adalah menjaga agar anak dan cucu mereka tak terkena beban sejarah.
Dalam mencari format terbaik, pemerintah juga berencana membahasnya dengan berbagai pihak, seperti Wakil Jaksa Agung. Dia mengklaim sudah mendapatkan gambaran format awal mengenai langkah yang akan dilakukan. "Nanti kita lihat saja bagaimana hasilnya," ujarnya.
Selain peristiwa penumpasan anggota dan simpatisan PKI pada 1965, masih ada sejumlah kasus pelanggaran HAM berat yang belum menemui titik terang, antara lain peristiwa Tanjung Priok 1984, peristiwa Lampung 1989, kasus orang hilang 1997-1998, kasus Trisakti 12 Mei 1998, kasus kerusuhan Mei 13-15 Mei 1998, serta kasus Semanggi 1 dan 2.
Presiden Joko Widodo sudah membentuk tim rekonsiliasi untuk menyelesaikan sejumlah dugaan pelanggaran HAM tersebut. Namun sejumlah pihak terus mendesak agar pemerintah meminta maaf.