TEMPO.CO, Banda Aceh - Penembakan terhadap Junaidi alias Beurijuek yang diklaim pihak kepolisian sebagai anggota kelompok Din Minimi disikapi anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh, Iskandar Usman Al-Farlaky. Dia menilai penembakan oleh kepolisian di bagian kepala dan dada itu merupakan tindakan berlebihan yang tidak perlu terjadi. "Saya rasa perlu ada penjelasan; apakah prosedurnya memang dibenarkan demikian,” ujar Iskandar Usman, Jumat, 28 Agustus 2015.
Politikus Partai Aceh ini mendesak kepolisian segera melakukan evaluasi internal terkait dengan tindakan represif yang selama ini terjadi terhadap para terduga komplotan bersenjata di Aceh. Hal itu dipandang perlu, mengingat beberapa peristiwa penembakan terakhir menyisakan kontroversi di tengah-tengah masyarakat, khususnya keluarga korban.
“Termasuk penembakan di Aceh Utara terhadap Ridwan. Kalau dibiarkan, saya khawatir potensi penggunaan kekerasan menjadi satu-satunya cara yang terus terpelihara,” ucapnya. Ridwan juga diduga sebagai anggota kelompok Din Minimi. Dia tewas ditembak polisi pada 20 Agustus 2015.
Menurut dia, tindakan pelumpuhan terhadap seseorang yang masih berstatus terduga semestinya dapat dihindari aparat hukum di lapangan. Upaya tersebut dilakukan hanya pada situasi mendesak yang mengancam keselamatan nyawa. “Saya lebih melihat ke persoalan penegakan hukumnya. Jangan sampai aparat kita dianggap melanggar hak asasi manusia,” ujarnya.
Iskandar mengaku telah berkoordinasi untuk mengadakan rapat guna membicarakan insiden itu. Bila perlu, tutur dia, pimpinan Kepolisian Daerah Aceh akan diminta menjelaskannya.
Sementara itu, Kapolda Aceh Irjen Husein Hamidi mengatakan penembakan terhadap Junaidi sudah sesuai dengan prosedur. “Polisi telah melakukan tembakan peringatan, tapi tak dihiraukan, sehingga dilakukan tembakan untuk melumpuhkan,” katanya.