WADUK JATIGEDE: Ketika Warga Diintimidasi Hingga Dicap PKI
Editor
Maria Rita Hasugian
Senin, 24 Agustus 2015 10:57 WIB
TEMPO.CO, Sumedang - Ingatan Dahri Suhendi, 67 tahun, warga Dusun Cibungur, Desa Jatibungur, Kecamatan Darmaraja, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, masih tajam mengingat proses awal pengukuran hingga ganti rugi tanah dan bangunan milik keluarganya yang dibebaskan untuk proyek Waduk Jatigede pada 1983.
Sayangnya, ingatan tersebut seolah mengorek kembali rasa pahit yang ia derita pada masa lampau terkait proses pembebasan lahan proyek waduk seluas lebih dari 4 ribu hektar ini.
Kepada Tempo, Minggu, 23 Agustus 2015, bapak dua anak ini dengan fasih menceritakan perlakuan pemerintah kepada masyarakat yang lahannya bakal terkena dampak genangan waduk: dari mulai menerima intimidasi militer hingga dicurangi pada saat mengajukan gugatan hukum ke pengadilan.
Waduk Jatigede merupakan proyek warisan Presiden Sukarno pada 1963. Namun sejak dicanangkan, proyek ini mandek. Baru pada 1982 pemerintah memulai proses pengukuran lahan serta mendata lahan dan rumah masyarakat yang terdampak. Pada medio 1982-1986 pemerintah melakukan proses ganti rugi terhadap lahan dan rumah masyarakat yang terdampak.
Proyek bendungan raksasa ini telah mengorbankan ribuan hektar sawah produktif dan ratusan hektar pemukiman warga di lima kecamatan di Kabupaten Sumedang. Selain itu, terdapat sejumlah situs sejarah yang masuk dalam zona penggenangan.
Sebidang tanah yang dimiliki keluarga Dahri di Dusun Cibungur menjadi lahan yang bakal terdampak genangan waduk. Dahri mengakui proses ganti rugi terhadap tanah tersebut sudah dilakukan oleh pemerintah. Namun biaya ganti rugi yang diberikan tidak sesuai dengan apa yang dijanjikan.
"Dari dulu saya pribadi sangat mendukung program pemerintah membuat Waduk Jatigede karena katanya banyak manfaatnya. Namun pemerintah juga harus memenuhi hak-hak warga yang terdampak," ujar Dahri kepada Tempo.
Sejak tahap pengukuran lahan dan rumah milik masyarakat, ujar Dahri, pemerintah dinilai mengabaikan hak masyarakat. Seperti salah satu contohnya pada saat tahap pengukuran, masyarakat sebagai pemilik lahan tidak dilibatkan. Hal itu berdampak pada proses ganti rugi karena banyak hasil penghitungan yang salah dan terlewatkan.
"Waktu pengukuran tanah, keluarga saya tidak dilibatkan," ujar Dahri.
Ketika pembagian uang ganti rugi yang dilakukan pemerintah, terdapat selisih harga yang jauh dari yang ditetapkan sebelumnya. Dahri masih ingat berapa harga tanah per meter yang telah ditetapkan oleh pemerintah melalui surat keputusan tahun 1984 tentang pembayaran ganti rugi tanah dan bangunan masyarakat. Dalam SK tersebut, pemerintah menjanjikan tanah yang dibebaskan diganti dengan uang Rp 5.175 per meter.
"Namun, setelah saya cek buku tabungan pada saat itu, tanah kami hanya dihargai Rp 660 per meter," kata mantan petani itu.
Berdasarkan catatan Tim Advokasi Warga Jatigede yang terdiri dari sejumlah organisasi seperti Lembaga Bantuan Hukum Bandung dan Walhi Jabar, terdapat belasan ribu masyarakat yang senasib dengan Dahri. Bahkan dari sekian jumlah masyarakat tersebut di antaranya terdapat masyarakat yang sama sekali belum mendapatkan uang ganti rugi atas lahannya yang dibebaskan.
Kondisi tersebut tidak diterima begitu saja oleh Dahri dan warga lainnya. Protes tak henti-hentinya mereka layangkan. Hingga suatu saat, di tahun 1987, ia diundang oleh pemerintah untuk memusyawarahkan permasalahan tersebut. Namun bukannya solusi yang mereka dapatkan, bogem mentah dari ABRI diterima Dahri dan kawan-kawan.
"Kami pernah dapat undangan dari pemerintah untuk musywarah terkait harga ganti rugi. Namun saat itu kami malah diintimidasi oleh tentara. Saya menerima pukulan hingga gigi saya rontok. Dan yang paling menyakitkan kami dituduh sebagai anggota PKI," ujar Dahri sambil menunjukkan gigi rahangnya yang rontok akibat bogem mentah aparat.
Kendati demikian, langkah Dahri dan kawan-kawan tidak berhenti sampai situ. Mereka terus memperjuangkan apa yang menjadi hak mereka. Setelah empat tahun bangsa ini merayakan reformasi, Dahri dan warga yang dirugikan kembali memproses kasus tersebut. Kali ini mereka membawa masalah tersebut ke meja hijau Pengadilan Negeri Bandung.
"Di pengadilan kami kembali kalah. Hakim mengatakan tuntutan kami buktinya lemah," katanya.
Belasan tahun berlalu, Waduk Jatigede tinggal menghitung hari untuk diairi. Dan jutaan warga Jatigede haruas segera meninggalkan tempat tinggalnya dengan sekelumit masalah yang masih tersisa. Dahri dan sejumlah masyarakat yang dirugikan pasrah pada pemerintah.
"Yang jelas kami tidak akan menggangu program pemerintah. Kami akan dukung. Tapi yang perlu diingat kembalikan juga hak-hak kami," kata Dahri.
IQBAL T. LAZUARDI S