Pentingnya Literasi Media Kaum Muda untuk Kesetaraan Gender
Editor
Untung Widyanto koran
Selasa, 18 Agustus 2015 22:59 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Para guru dan orang tua menjadi ujung tombak usaha pendidikan literasi media, terutama bagi anak dan remaja. “Literasi media merupakan solusi cerdas dan sederhana namun besar dampaknya di kemudian hari untuk mencapai kesetaraan gender di Indonesia,” kata Profesor Billy Sarwono, dosen Departemen Ilmu Komunikasi, Universitas Indonesia.
Pada Rabu, 19 Agustus 2015, Billy Sarwono bakal dikukuhkan sebagai Guru Besar Ilmu Komunikasi di Universitas Indonesia. Dia akan membawakan pidato yang berjudul Literasi Media untuk Kesetaraan Gender di Indonesia. Sejak 1995, dia menekuni studi tentang literasi media.
Oni, panggilan akrab Billy menjelaskan publik harus tahu bahwa isi media tak terlepas dari siapa yang berada di baliknya. Bagaimana proses produksi teks (berita, acara televisi, film dan lain) juga tak lepas dari latar belakang awak media, kepentingan pemilik modal, pengiklan dan berbagai faktor lain.
Menurut Oni, literasi media ini tak hanya untuk menipis bias gender dalam masyarakat. Juga bisa diaplikasikan sebagai usaha menahan gempuran media sosial dalam kehidupan anak dan remaja di segala bidang. Melalui pendidikan literasi media, seseorang akan memahami bahwa sebagian besar isi media merupakan hasil konstruksi.
Isi media tidak selalu memberikan gambaran seperti apa adanya. Media banyak mengkonstruksikan realitas untuk memenuhi kepentingan pemilik media atau bahkan memenuhi kebutuhan pasar. Tak heran, karena sarat akan kepentingan tersebut, maka representasi yang ditampilkan sering tidak menggambarkan realitas yang sebenarnya.
Contohnya, kata Oni yang saat ini menjabat sebagai Ketua Program Pascasarjana Ilmu Komunikasi FISIP UI, pemberitaan soal perempuan. Media cenderung menggambarkan stereotip perempuan yang muda, cantik, lemah, emosional. Sebaliknya laki-laki merupakan sosok kuat, pemberani, tegas dan mandiri.
Dampak konstruksi bias gender dalam media tidak hanya mempengaruhi perilaku individu melainkan juga budaya masyarakat. "Karena sifat dari media yang bisa menjangkau sebagian besar masyarakat dalam waktu singkat," ujar Oni dalam siaran pers pada Selasa, 18 Agustus 2015.
Berita atau teks dalam media layaknya mitos yang disajikan setiap hari, sehingga sebagian masyarakat menerima nilai-nilai yang dikonstruksikan media tanpa mengkritisinya. Terjadilah misrepresentation perempuan dalam media yang dampaknya terhadap anak-anak dan remaja.
Oni mengutip berbagai hasil penelitian tentang bias gender dalam media. Ditampilkan bahwa perempuan berada di ranah domestik dan laki-laki di publik; bila perempuan bekerja di sektor publik, maka dia dianggap kurang kompeten atau media juga cenderung menekankan atribut seks (kecantikan) daripada pemikirannya.
Selain itu, minimnya narasumber perempuan yang digunakan media membuat partisipasi perempuan di ranah publik tak kelihatan dan kepentingan perempuan tak bisa disuarakan atau terbisukan. Kondisi ini akan mengakibatkan peran dan posisi perempuan semakin direndahkan dan kesetaraan gender di Indonesia semakin sulit dicapai.
"Situasi saat ini semakin memprihatinkan saat industri media ikut mengkomodifikasi ideologi patriarki," kata anggota dari Media Climate Working Groups yang terdiri peneliti dari 18 negara di dunia. Seperti gambaran perempuan ideal yang seksi dan atau memiliki wajah cantik mendorong remaja untuk menggunakan berbagai produk demi mencapai standar sesuai dengan konstruksi media.
Walaupun jumlah reporter perempuan dan jumlah politisi serta perempuan di parlemen sudah meningkat, namun keberadaan mereka belum mampu mengubah stereotip perempuan yang bias gender.
Demikian juga, walaupun dewasa ini masyarakat kita aktif menggunakan media sosial, namun berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa masih sulit terjadi pemaknaan khalayak yang beragam. Karena pemaknaan khalayak, ujar Billy, sejalan dengan isi media dan juga persepsi awal seseorang atau stereotip terhadap perempuan.
Salah satu hal yang menyebabkan pemaknaan dominan ini karena kuatnya kultur patriarki yang juga disosialisasikan lewat komunikasi interpersonal melalui keluarga, institusi pendidikan, teman bermain dan masyarakat.
Dalam perpektif ilmu komunikasi, maka solusi yang bisa dilakukan adalah mendorong anak-anak, remaja dan khalayak lain menjadi lebih kritis terhadap sajian media melalui literasi media.
UNTUNG WIDYANTO