TEMPO.CO, Makassar - Wakil Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar Zulkifli Hasanuddin menilai kepolisian, khususnya Detasemen Khusus 88 Antiteror, tidak profesional dalam menangani kasus terorisme. Penangkapan lima mahasiswa terduga teroris yang belakangan dibebaskan merupakan bukti kepolisian telah ceroboh.
"Kepolisian tidak profesional. Kepolisian terlalu terburu-buru. Harusnya kumpulkan bukti dulu baru melakukan penangkapan," kata Zulkifli, kepada Tempo, Jumat, 5 Juni 2015.
LBH Makassar mendesak kepolisian bertanggung jawab atas kejadian yang dinilainya salah tangkap terhadap lima mahasiswa Makassar asal Bima, NTB, itu pada 24 Mei 2015. Setelah dibebaskan, para mahasiswa itu kini ketakutan dan tertekan.
Zulkifli menduga kondisi mahasiswa seusai ditangkap Densus itu masih trauma. “Sepatutnya kepolisian bertanggung jawab dengan memulihkan kondisi psikologi para mahasiswa yang terlanjur dicap terduga teroris itu,” ujarnya.
Selain itu, Zulkifli meminta kepolisian segera menyampaikan permohonan maaf kepada keluarga mahasiswa itu dan publik atas kekeliruan penangkapan mereka. Bagaimanapun, kata dia, nama baik kelima mahasiswa itu telah tercoreng imbas label terduga teroris yang sempat diekspose kepolisian ke media.
Lima mahasiswa asal Bima, NTB, yang ditangkap di Makassar, lalu akhirnya dipulangkan adalah Salman dan Abdul Azis (mahasiswa Universitas Muhammadiyah, Makassar), serta Andi Irawan (mahasiswa Sekolah Keperawatan dan Kebidanan Gunung Sari). Selain itu, juga ada nama Hasanuddin dan Firmansyah (mahasiswa Universitas Indonesia Timur).