Mengapa Masdar Mas'udi Usul NU Dipimpin Direktur?
Editor
Kukuh S Wibowo Surabaya
Minggu, 19 April 2015 18:53 WIB
TEMPO.CO, Surabaya - Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Masdar Farid Mas'udi berpandangan, NU yang bakal bermuktamar ke-33 di Jombang, Jawa Timur pada 1-5 Agustus 2015 harus mulai memikirkan pengelolaan organisasi secara lebih modern.
Menurut Masdar, pola kepemimpinan berbasis kharisma seorang kiai seperti yang selama ini diterapkan, lambat laun mulai tidak sesuai dengan perkembangan zaman. "Zaman berganti, harus ada distribusi power," ujar Masdar dalam Forum Tabayun Ikatan Sarjana NU Jawa Timur dengan tema Mengawal Suksesi Kepemimpinan NU di JX International Expo, Surabaya, Minggu 19 April 2015.
Pada awalnya, kata Masdar, NU dikelola sepeti halnya sebuah pesantren karena organisasi kemasyarakatan dengan jumlah pengikut terbanyak itu bisa dilogikakan sebagai pesantren besar. Layaknya pola kepemimpinan pesantren, kiai pemegang kuasa di NU punya otoritas sangat besar. "Dulu seorang Rais Am NU itu luar biasa. Semua sami'na wa ato'na, tidak ada yang berani membantah ucapannya," kata Masdar.
Namun seiring perkembangan zaman, pola kepemimpinan absolut dan tradisional semacam itu mulai kurang cocok diterapkan untuk organisasi dengan basis massa yang besar. Terlebih NU telah ditinggalkan oleh kiai-kiai kharismatik seperti KH Hasyim As'ari, KH Wahab Hasbullah dan KH Bisri Syansuri yang, bagi Masdar, tatarannya telah mencapai kemaksuman. "Alam sudah tidak melahirkan lagi kiai-kiai sebesar beliau-beliau," ujarnya.
Karena itu Masdar setuju bila NU mulai luwes dalam mengelola organisasinya. Ia punya gagasan pimpinan NU tidak harus kiai, namun seorang direktur. Masdar membandingkan dengan kemunculan pesantren-pesantren modern yang dijalankan oleh seorang direktur dan ternyata sukses. "Pendidikannya jalan, santrinya banyak," ujarnya.
Meski demikian, kata Masdar, doktrin-doktrin yang bersifat dasariah dan esensial tetap harus dipertahankan. Misalnya, soal ajaran ahlus sunah wal jamaah dan Khittah NU 1926 yang selama ini menjadi pegangan organisasi. "Ini tantangan-tantangan ke depan yang harus dihadapi NU, karena evolusi itu hukum besi," ujarnya.
Intelektual muda NU, Masdar Hilmy, mengatakan gagasan Masdar Mas'udi cukup revolusioner. Namun Hilmy melihat tidak mudah meyakinkan NU untuk menerima gagasan tersebut. Walaupun demikian, untuk sebuah ide besar, kata dia, gagasan Masdar Mas'udi layak dipikirkan atau dikaji.
"Cuma pertanyaanya adalah, apakah NU mau melakukan perubahan sedrastis itu," kata Hilmy yang juga pengajar di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya ini.
KUKUH S. WIBOWO