Banyak Situs Aneh, Indonesia Tak Punya Gerbang Penyaring
Editor
Rini Kustiani
Minggu, 5 April 2015 04:58 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat masalah cyber, Fami Fahruddin, menilai sudah saatnya Indonesia memiliki national proxy server. Perangkat ini diibaratkan sebagai gerbang penyaring untuk mengizinkan sebuah situs masuk di sebuah negara atau tidak. Di Indonesia, kata dia, tak ada sinkronisasi dalam kebijakan penyensoran, semisal terhadap situs radikal.
"Diblokir di satu provider, situs sering bisa dibuka dengan memakai jasa penyedia lain," kata Edmon saat diskusi di bilangan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu, 4 April 2015.
Ia mencontohkan situs vimeo.com yang diblokir pada 2013. Situs itu tak bisa jika user memakai Telkomsel. Namun, suatu ketika laman itu bisa dibuka ketika pengguna memakai kartu XL.
Harusnya, ujar dia, gateway harus masuk ke proxy secara terpusat. Kemudian dari situ bisa dibagi-bagi. "Kalau sekarang ini mereka sendiri-sendiri," ujarnya. Menurut Fami, sistem IT ini merupakan celah. Musababnya, pemerintah berkeinginan perang melawan konten teroris, "namun bolongnya banyak."
Menurut penelitian Cisco, pada tahun ini Indonesia tercatat sebagai negara dengan cyber traffic crime tertinggi di dunia, yakni 40 persen. Hal ini disebabkan karena pemerintah memberlakukan kelonggaran. "Tugas pemerintah sekarang harus menambal lubang-lubang ini."
Ketua Bidang Hukum dan Regulasi bagian Cyber Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Edmon Makarim mengamini pernyataan Fami. Menurut dia, seluruh negara memiliki national proxy.
Ia mengharap masyarakat tak beropini program ini untuk membabat kebebasan berpendapat. "National proxy ini demi keamanan dan ketahanan kita," kata dia.
Ia menampik dengan adanya national proxy berarti negara otoriter. "Yang benar, negara harus datang datang masalah yang timbul sebagai akibat dari dunia maya ini."
Sebelumnya Kementerian Komunikasi dan Informatika memblokir 19 laman media Islam setelah Badan Nasional Penanggulangan Terorisme menganalisis potensi bahaya yang ditimbulkan dari isi laman-lama itu.
Kementerian belakangan menyatakan tak memverifikasi potensi bahaya itu dan berencana membentuk panel untuk membahas pemblokiran tersebut.
Jika ternyata tak ada potensi bahaya yang ditimbulkan dari sejumlah laman itu, Majelis Ulama Indonesia meminta pemerintah merehabilitasi nama baik laman-laman media Islam itu karena terlanjur dikaitkan dengan gerakan kekerasan, radikalisme, hingga terorisme.
MUHAMMAD MUHYIDDIN