Mantan Wamenkumham, Denny Indrayana, tiba bersama sejumlah penggiat anti korupsi untuk memberikan dukungan terhadap KPK di gedung KPK, Jakarta, 23 Januari 2015. Kedatangan ini terkait kabar penangkapan Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto, oleh Badan Reserse Kriminal Mabes Polri. TEMPO/Eko Siswono Toyudho
TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Fahri Hamzah menyindir tindakan Denny Indrayana yang tak memenuhi panggilan Badan Reserse Kriminal Mabes Polri. Menurut Fahri, sebagai ahli hukum Denny seharusnya memenuhi panggilan polisi.
"Kalau Anda menghadapi masalah hukum, dikriminalkan, nanti dibuktikan di pengadilan," kata Fahri di Kompleks Parlemen, Senayan, Senin, 9 Maret 2014. Menurut dia, jika yang disangkakan pada Denny tak terbukti di pengadilan, Fahri mengatakan bekas Wakil Menteri Hukum dan HAM itu bisa menggugat balik.
Fahri menyindir slogan pendukung Komisi Pemberantasan Korupsi, yaitu "Kalau Bersih Kenapa Risih." Sebagai ahli hukum, Denny berkesempatan untuk menunjuk pengacara dan berdebat di pengadilan. "Masa ilmu Anda sebagai profesor tak bisa digunakan untuk melawan," kata politikus Partai Keadilan Sejahtera ini.
Fahri mengatakan aktivis antikorupsi seharusnya menaruh respek pada semua lembaga penegak hukum. Dia menyindir saat ini satu-satunya lembaga yang harus dihormati adalah KPK. Bahkan, kata dia, ada anggapan penegakan hukum dan kepastian hukum hanya ada di KPK. "Jaksa dan polisi baru bener kalau pindah ke KPK," kata Fahri.
Denny dilaporkan dua kali ke Mabes Polri. Laporan pertama dilayangkan Andi Syamsul Bahri dari lembaga swadaya masyarakat Pijar pada 10 Februari 2015. Denny kembali dilaporkan atas kasus dugaan tindak pidana korupsi yang sama pada 24 Februari 2015.
Denny dilaporkan karena diduga menyelewengkan implementasi payment gateway dalam program sistem pelayanan paspor terpadu online yang dibuatnya. Denny mempelopori program ini untuk menghapus pungutan liar dalam pengurusan paspor.
Dalam implementasi payment gateway Juli-Oktober 2014, terdapat nilai selisih dari pengurusan paspor yang tak disetorkan ke negara sebanyak Rp 32 miliar. Kelebihan pungutan tersebut justru masuk ke dua vendor dan tak langsung disetorkan ke bank penampung.