Bisnis Narkoba di Indonesia Capai Rp 13 Triliun
Editor
Maria Rita Hasugian
Rabu, 4 Maret 2015 04:48 WIB
TEMPO.CO , Jakarta:Troels Vester, Manajer Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Narkoba dan Kejahatan (UNODC) mengatakan jumlah penyalahgunaan narkoba di Indonesia terus meningkat dalam kurung 5-10 tahun terakhir. "Rata-rata ada peningkatan 10 persen per tahun," ujarnya pada peluncuran Laporan Tahunan Dewan Pengendali Narkotika Internasional di Menara Thamrin, Selasa, 3 Maret 2015.
Penyebabnya adalah faktor permintaan dan pasokan yang saling terkait. Menurut Vester, permintaan narkoba di Indonesia terus naik. Apalagi, Indonesia kini bisa memproduksi sendiri narkotika jenis amphetamine. Itu terbukti dari penemuan 200 pabrik di dalam negeri belum lama ini.
Vester mengingatkan bahwa narkoba sudah menjadi kejahatan terencana di Tanah Air. "Kami memperkirakan Indonesia punya produksi amphetamine senilai lebih dari US$ 1 miliar (setara Rp 13 triliun)," kata dia. "Ini bisnis yang sangat menguntungkan bagi produsen barang haram."
Staf Ahli Badan Narkotika Nasional Bidang Hukum dan Internasional, Bali Moniaga membenarkan darurat narkoba di Indonesia. Menurutnya, masalah narkoba adalah fenomena gunung es. "Setiap satu penangkapan, ada 10 tersangka narkoba yang lolos," ujarnya. Jumlah temuan narkoba pun melonjak. Dia mencontohkan, sebelumnya selama 3 tahun, total barang bukti sabu hanya 2,1 metric ton. Namun pada 2014, hanya dalam 1 tahun, barang bukti mendekati jumlah 1,5 metrik ton.
Selain itu, kata Bali, ada peningkatan kasus dan tersangka narkoba. Tahun 2000, kasus dan tersangka narkoba kisarannya 3-4 ribu orang. Sedangkan setelah 2013 jumlahnya menjadi 21-28 ribu.
Untuk mengatasi masalah ini, kata Vester, pemerintah Indonesia perlu menerapkan solusi berimbang. Artinya, upaya memerangi narkoba mesti dilakukan dari berbagai lini. Di satu sisi, pengguna narkoba tidak serta-merta dipenjara, melainkan diobati lewat rehabilitasi. Proses rehab pun bukan berarti harus di rumah sakit. "Lebih baik dirawat dalam komunitas masyarakat," ujar dia.
Di sisi lain, menurut Vester, Indonesia perlu memiliki intel dan catatan profil kontainer pelabuhan yang lebih baik. Faktor ini penting karena bahan baku pembuatan amphetamine mestinya dapat dihentikan saat masuk pelabuhan. Kenyataannya, seringkali tak ditemukan apapun pada kontainer.
Vester maklum. Ada 6 juta kontainer di Tanjung Priok tiap tahun. Tidak mungkin memeriksa semuanya satu per satu. Agar personel Bea Cukai lebih jeli, kata dia, UNODC sudah mulai mengajak kerjasama dalam peningkatan kapasitas personel. "Ini bukan tentang membuka semua container, tapi tentang membuka container yang benar."
ATMI PERTIWI