TEMPO.CO, Banda Aceh - Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) akhirnya mengesahkan Qanun Jinayat sebagai bagian pemberlakuan syariat Islam di Aceh. Pengesahan dilakukan di gedung DPRA Banda Aceh, Sabtu dinihari, 27 September 2014, sekitar pukul 03.10 WIB. Bersama qanun tersebut ikut disahkan enam qanun lainnya.
Sidang paripurna DPRA dihadiri oleh separuh anggota Dewan dari jumlah total 69 orang. Turut hadir Gubernur Aceh, perwakilan Kepolisian Daerah Aceh, perwakilan dari Kejaksaan, unsur Mahkamah Syariah, para kepala dinas dan biro, serta unsur kepemudaan dan wartawan.
Rapat paripurna dalam persidangan terakhir DPRA telah dimulai sejak Rabu lalu. Setelah melewati sejumlah agenda dalam dua hari terakhir, sidang pada Jumat malam dimulai kembali pada pukul 21.00 WIB dengan agenda pandangan akhir fraksi. Ada empat fraksi di DPRA. Tidak ada perdebatan dalam pandangan fraksi terkait Qanun Jinayat. Semuanya menerima dengan sejumlah catatan.
Pandangan Fraksi Partai Aceh yang disampaikan oleh Tgk M Harun mengemukakan syariat Islam perlu ditegakkan di Aceh. "Partai Aceh setuju dengan rancangan Qanun Jinayat dan dapat disahkan," ujarnya.
Juru bicara Fraksi Demokrat, Ibnu Rusdi, mengatakan hal sama. "Sepakat dengan Qanun Jinayat, penegakan syariat Islam perlu didukung oleh semua pihak," ujarnya.
Aminuddin mewakili Fraksi Golkar dalam pandangannya menyampaikan tidak ada suatu hal yang membuat mereka keberatan dengan Qanun Jinayat. "Sudah sempurna dan setuju disahkan."
Hanya Fraksi PPP dan PKS yang menyampaikan permintaan untuk ditambahkan salah satu pasal pemberatan. Mahyaruddin, juru bicara fraksi tersebut, mengatakan hukuman perlu lebih diperberat kepada pejabat publik maupun aparat penegak hukum. "Untuk pejabat publik dan aparat hukum yang melanggar harus ditambah hukumannya sepertiga dari hukuman yang tertera," katanya.
Hal ini dimaksudkan untuk membuat pejabat publik dan penegak hukum tidak main-main dengan hukum syariat Islam yang berlaku di Aceh. "Jika begitu, masyarakat pun akan menilai penegakan hukum berjalan baik," ujar Mahyaruddin.
Setelah pandangan akhir fraksi, rapat diskors selama empat jam untuk memberikan kesempatan kepada Badan Musyawarah (Banmus) yang terdiri atas eksekutif dan legislatif menyempurnakan beberapa qanun yang akan disahkan. Rapat dilanjutkan kembali pada pukul 03.00 WIB
Tidak ada perubahan yang mendasar dari draf Qanun Jinayat untuk kemudian disahkan menjadi Qanun Jinayat. Hasil keputusan rapat DPRA tentang penyetujuan tujuh rancangan qanun, yang disahkan menjadi qanun, dibacakan oleh Sekretaris Dewan Hamid Zein di depan majelis sidang.
Kepala Biro Hukum Edrian mengatakan setelah disahkan oleh DPRA, pihak eksekutif akan melihat kembali dan mempelajari redaksional secara seksama sebelum ditandatangani oleh gubernur dan dimasukkan dalam lembaran daerah. "Juga nantinya akan disampaikan ke Mendagri," ujarnya.
Qanun Jinayat (pidana) mengatur tentang perbuatan yang dilarang syariat Islam dan tentang hukuman yang dijatuhkan hakim untuk pelaku. Perbuataan yang diatur di antaranya meliputi khamar (minuman keras), maisir (judi), khalwat (perbuatan tersembunyi antara dua orang berlainan jenis yang bukan mahram), ikhtilath (bermesraan antara dua orang berlainan jenis yang bukan suami istri), zina, pelecehan seksual, dan pemerkosaan. Selanjutnya juga qadzaf (menuduh orang melakukan zina tanpa dapat mengajukan paling kurang empat saksi), liwath (homo seksual) dan musahaqah (lesbian).
Hukuman yang diberikan kepada pelaku adalah hukuman cambuk atau denda berupa emas atau penjara. Banyaknya cambuk atau denda tergantung dari tingkat kesalahan. Paling ringan sepuluh kali atau denda 100 gram emas atau penjara 10 bulan dan paling berat adalah 150 kali atau denda 1.500 gram emas atau penjara 150 bulan.
ADI WARSIDI
Terpopuler:
Demokrat Walkout RUU Pilkada, Ruhut: Siapa yang Ngibulin?
UU Pilkada Tak Berlaku di Empat Daerah Ini
Pengamat: RUU Pilkada Balas Dendam Kubu Prabowo
Pilkada, PPP: Demokrat Mainkan Skenario Prabowo
Ahok dan Ridwan Kamil Bisa Jadi Motor Gugat UU Pilkada