Masjid Agung An-nur Pekanbaru tampak diselumti asap pekat dari sisa kebakaran hutan dan lahan sejak sepekan terakhir di Riau, 18 September 2014. TEMPO/Riyan Nofitra
TEMPO.CO, Palembang - Area hutan dan lahan yang terbakar di Sumatera Selatan semakin meluas. Data yang diambil Walhi Sumsel dari satelit Terra dan Aqua dari Agustus hingga hari ini mencatat 1.333 hot spot (titik panas) di daerah. "Data sebaran hot spot akan terus bertambah kalau tidak ada langkah konkret pemerintah," ujar Direktur Eksekutif Walhi Sumsel Hadi Jatmiko di kantornya, Jumat, 19 September 2014.
Sebanyak 169 titik panas di antaranya berada di area perusahaan perkebunan dan 531 titik lainnya masuk dalam kawasan hutan tanaman industri (HTI). Dari ratusan titik api itu, 417 di antaranya berada di lahan gambut wilayah konsesi sebuah perusahaan kertas. Menurut Hadi, perusahaan kertas itu kemungkinan besar melakukan pembukaan lahan dengan membakar. (Baca: Asap Riau Diduga Kiriman dari Sumatera Selatan)
Perusahaan itu menguasai sekitar 792,123 hektare atau sekitar 47 persen dari luas hutan produksi di Sumsel. Sedangkan Sumsel memiliki hutan produksi untuk HTI sebesar 1,7 juta hektare. “Jadi, ada ketimpangan dalam penguasaan hutan dan lahan antara warga dan perusahaan.”
Sementara itu, Kepala Divisi Kota dan Industri Walhi Sumsel Walhi Sumsel Norman Chegame mendesak pemerintah segera mencabut izin perusahaan pembakar lahan dan hutan. Desakan itu muncul setelah Walhi memperoleh data lapangan serta data satelit. Walhi menilai perusahaan itu tidak bisa merawat dan menjaga lahan konsesinya. “Hot spot itu banyak ditemukan di OKI (Ogan Komering Ilir) dan Banyuasin,” kata Norman. OKI dikenal sebagai daerah yang memiliki lahan hutan dan gambut yang luas di Sumsel.
Kepala Dinas Kehutanan Sumsel Sigit Wibowo membenarkan titik panas sebagian besar ditemukan di OKI. Selain di daerah tersebut, titik panas banyak ditemukan di Banyuasin, Ogan Ilir, Musi Banyuasin, dan Muara Enim. Dinas masih menginventarisasi dugaan pihak swasta membakar hutan secara sengaja. “Pembakar bisa jadi oleh perusahaan ataupun oleh warga, jangan gegabah menuduh,” tutur Sigit Wibowo.