TEMPO Interaktif, Jakarta: Indonesia selama ini tidak memiliki sistem maritim. "Setelah kasus Ambalat, baru masalah maritim dibicarakan," ujar anggota Dewan Maritim Nasional, La Ode Kamaluddin, Sabtu (19/3) di Jakarta.Selama ini pembangunan yang dibuat pemerintah hanya melihat sisi daratan sebagai ketahanan maupun fungsi ekonomi. Sedangkan pulau dan laut yang menjadi pembentuk Indonesia tidak pernah dipikirkan. Ia menilai kehadiran angkatan laut hanya sebagai penjaga yang bersifat statis. Nelayan yang sehari-hari mengetahui seluk beluk laut dan pulau di sekitar mereka mencari nafkah, tidak diikutsertakan sebagai alat pelengkap ketahanan. "Mereka (nelayan) seharusnya bisa menjadi informan untuk Angkatan Laut mengenai situasi perairan di sekitarnya. Sehingga bila terjadi pencurian ikan atau upaya kayu bisa langsung diketahui," ujar La Ode. Untuk penanganan kasus Ambalat, dia mendukung upaya diplomasi yang akan dilaksanakan dari 22 hingga 23 Maret mendatang. Sedangkan kehadiran Angkatan Laut tetap diperlukan untuk menjaga wilayah teritorial. Hasyim Djalal, mantan tim perunding Sipadan-Ligitan mengatakan saat ini persepsi masyarakat Indonesia untuk status dua pulau tersebut adalah salah. Indonesia sejak awal memang tidak memasukkan Sipadan-Ligitan di dalam peta wilayahnya. Baru ketika 1969 negosiasi batas wilayah dengan Malaysia dilakukan, Malaysia yang juga belum memasukkan Sipadan-Ligitan dalam peta wilayahnya sadar ada dua pulau tersebut. Persepsi mengenai diplomasi perundingan batas wilayah atas sengketa perairan di Ambalat harus disosialisasikan ke masyarakat. "Apa yang dilakukan Indonesia sesuai dengan konvensi hukum laut yakni merundingkan batas wilayah dengan negara lain," ujar Hasyim. Sehingga keinginan berperang melawan Malaysia seharusnya tidak perlu membakar masyarakat Indonesia. Yophiandi