TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Pusat Kajian Anti-Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Hifdzil Alim, mempertanyakan lemahnya mekanisme pengawasan internal di Direktorat Jenderal Pajak. Institusi di bawah Kementerian Keuangan ini tak boleh longgar karena menangani pendapatan negara sebagaimana kantor Direktorat Jenderal Pajak.
Menurut Hifdzil, lemahnya pengawasan itu tergambar masih adanya pegawai dan pejabat terjerat kasus suap. Hal ini jelas dipicu oleh pengawasan internal yang tak berjalan sehingga pemerintah harus menjelaskan apa penyebab sistem tersebut tak optimal.
"Jangan-jangan pengawasan memang diatur menjadi tumpul," kata Hifdzil kepada Tempo pada Rabu, 30 Oktober 2013. Dia pesimistis pegawai level terbawah di sektor pendapatan negara, seperti Kantor Pelayanan Pajak serta Kantor Pelayanan Utama Bea Cukai, bersih dari suap.
Karena itulah, polisi menduga Heru menerima suap Rp 11,4 miliar dari Komisaris PT Tanjung Jati Utama, Yusran Arif, dalam bentuk polis asuransi yang dicairkan pada 2011-2012. Yusran juga memberi Heru sebuah Nissan Terano dan Ford Everest. Yusran ditangkap pada pagi harinya di rumahnya di Ciganjur, Jakarta Selatan.
Direktur Pidana Ekonomi dan Khusus Badan Reserse Kriminal Polri Brigadir Jenderal Arief Sulistyanto mengatakan Yusran diduga menyuap Heru untuk menghindari audit Kantor Bea-Cukai. Ia kemudian melakukan buka tutup perusahaaan untuk menghindari audit.
Menurut sumber Tempo, pengusutan kasus ini berawal dari pelaporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) soal rekening gendut Heru. Selama periode 2009-2012, kata dia, PPATK mencatat transaksi di rekening Heru mencapai Rp 60 miliar, termasuk dari Tanjung Jati Utama.