Keluarga Korban Cebongan Tak Percaya Mahmil
Rabu, 4 September 2013 08:44 WIB
TEMPO.CO, Yogyakarta- Keluarga korban penembakan tahanan Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, Sleman, mengaku tidak mempercayai proses hukum dalam persidangan di Pengadilan Militer II-11 Yogyakarta. Mereka akan meminta bantuan komunitas internasional untuk meminta keadilan atas kasus itu.
"Keluarga tidak banyak berharap terhadap hasil persidangan," kata Victor Manbait, Selasa, 3 September 2013. Victor Manbait adalah keluarga satu dari empat korban penembakan, Juan Manbait.
"Ada banyak kejanggalan dalam proses persidangan," katanya. Kejanggalan itu, kata Victor, terjadi ketika di dalam persidangan dihadirkan saksi yang tidak berkaitan dengan perkara. Selain itu, dalam persidangan, majelis hakim sengaja menggiring opini korban penembakan sebagai preman. Sedangkan pelaku sebagai kestaria.
Selain itu, Victor menyayangkan persidangan yang tidak menghadirkan mantan Kepala Kepolisian Daerah DIY dan mantan Panglima Kodam atau Pangdam. Padahal, keduanya mengetahui dengan baik proses pemindahan tahanan dari Polda DIY ke LP Cebongan.
“Persidangan mengabaikan rekonstruksi utuh kasus itu,” kata dia.
Keluarga, menurut Victor, akan menempuh jalur internasional untuk menuntut kejahatan hak asasi manusia yang dilakukan anggota Korps Pasukan Khusus atau Kopassus di LP Cebongan. “Kami akan mencari keadilan lewat komunitas internasional,” kata Victor.
Ia juga mengatakan keluarga berpandangan aparat tidak berdaya menjaga proses persidangan dalam suasana yang aman dan tertib. Pengerahan milisi sipil, teror, dan intimidasi dalam persidangan, kata dia, menggambarkan kegagalan aparat negara memberi rasa aman bagi semua orang. “Hukum dimainkan sesuka hati. Penegakan hukum di Indonesia hanya jadi slogan,” katanya.
Victor menyayangkan pelabelan preman terhadap keempat korban. Selain itu, penyebutan pelaku penembakan sebagai pahlawan sengaja dipertontonkan layaknya sebuah drama untuk menutupi proses pengadilan yang tidak fair dalam peradilan militer. “Mereka pembantai, kok, dipuji,” kata dia.
Ketua Paguyuban Flores, Sumba Timor, dan Alor (Flobamora), Hillarius Mero, mengatakan upaya intimidasi terhadap persidangan bisa mempengaruhi keputusan majelis hakim.
Kondisi ini menggambarkan persidangan yang tidak fair karena penuh tekanan. “Saya menduga putusan majelis hakim nantinya tidak fair karena banyak tekanan,” katanya. Padahal, dalam persidangan semestinya majelis hakim berada pada situasi yang aman sehingga mereka bisa bekerja secara independen. Selain itu, aparat semestinya juga memberikan jaminan rasa aman untuk peserta persidangan.
Hillarius mendukung rencana keluarga korban yang akan menggunakan jalur internasional untuk menuntut keadilan. Keluarga bisa meminta bantuan melalui organisasi non-pemerintah yang fokus pada isu penegakan hak asasi manusia.
SHINTA MAHARANI
Berita Terpopuler:
Bos Lion Air: Kami Kecolongan di Bali
Jaksa Selidiki Korupsi di Acara Anang-Ashanty
Tujuh Mitos dan Fakta Masturbasi
Lion Air Delay, Alvin Adam Terpaksa Menginap
Megawati Kerap Ajak Jokowi Diskusi Masalah Bangsa