Kisah Ola 8: Ini Profil Hakim yang Vonis Mati
Editor
Yandi M rofiyandi TNR
Jumat, 16 November 2012 14:31 WIB
TEMPO.CO, Jakarta -- Ribuan hakim dan jaksa kita punya. Benarkah tak ada seorang pun yang mempertahankan hati nuraninya untuk tidak ditukar dengan duit? Mungkin tidak ada lagi. Tapi mungkin juga yang tersisa tinggal hakim Asep Iwan Iriawan atau sedikit yang lain. Di antara koleganya yang bermobil bagus dan berumah nyaman, Asep adalah makhluk yang langka.
Majalah Tempo edisi 17 November 2002 menobatkan Asep sebagai tokoh Tempo. Dia bukanlah seperti kebanyakan hakim yang punya deposito miliaran rupiah atau rumah mentereng, seperti yang dipertontonkan para anggota majelis perkara Manulife yang ketika itu diduga telah memakan suap.
Sehari-hari, Asep tampil sederhana. Tak tampak pakaian bermerek atau arloji emas yang melekat di tubuhnya. Mobilnya cuma sebuah Escudo, itu pun ia berikan ke adiknya. "Saya tidak bisa menyetir," ujar hakim yang bertugas di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ini. Asep merasa gajinya yang Rp 3,5 juta sebulan cukup buat hidup layak seorang bujangan seperti dirinya.
Lelaki Sunda ini lahir di keluarga yang serba berkecukupan 40 tahun lalu. Ayahnya, Abidin Sukarjo, adalah seorang pensiunan perwira di Komando Distrik Militer Siliwangi, Jawa Barat. "Walaupun Asep anak orang kaya, ia tak ingin menunjukkan kekayaannya. Sampai sekarang dia tetap jujur, tapi kalau sudah memutus perkara, dia tanpa tedeng aling-aling. Kalau salah, ya dihukum berat, tanpa kompromi," kata kawan satu kampus Asep yang kini sama-sama bertugas di pengadilan Jakarta Pusat.
Kerasnya ketukan palu hakim Asep mulai jadi pembicaraan ketika bersama dua koleganya, Satria U.S. Gumay dan Prim Haryadi. Ia tanpa ragu menjatuhkan hukuman mati terhadap lima pengedar heroin di Pengadilan Negeri Tangerang, Agustus 2000.
Tiga di antaranya kakak beradik warga Indonesia, Meirika Franola alias Ola, 30 tahun, Rani Andriani (25), dan Deni Setia Maharwan (28), yang tertangkap basah ketika berupaya menyelundupkan 3,5 kilogram heroin dan 3 kilogram kokain ke London, Inggris, lewat Bandara Soekarno-Hatta.
"Ola adalah perempuan Indonesia pertama yang dihukum mati dalam kasus narkotik," kata Asep. Sebelumnya, ia juga telah mengirim dua terdakwa sejenis untuk dihadapkan ke depan regu tembak. Mereka adalah Nar Bahadur Tamang dan Bala Tamang, dua lelaki berkebangsaan Nepal yang dicokok aparat dengan 1.750 gram heroin di tangan.
Sikap tanpa kompromi ini bukannya tanpa pertimbangan. Menurut alumni Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, ini, majelis telah memikirkannya masak-masak. "Karena kesalahannya berat, hukumannya juga harus berat. Hukuman maksimal yang bisa dijatuhkan adalah hukuman mati. Karena itu, kami menjatuhkan hukuman mati sesuai dengan kehendak masyarakat yang ingin para pengedar narkotik dihukum seberat-beratnya," katanya.
Keberaniannya mengangkat bendera perang tinggi-tinggi terhadap setiap pengedar bubuk setan melejitkan karier Asep. Tak lama setelah vonis fenomenalnya itu, pada tahun 2000, ia ditarik masuk Jakarta menjadi hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sekaligus di pengadilan niaga.
Integritas dan ketegasan itulah yang menerbitkan hormat dari banyak kalangan. Salah satunya datang dari mantan Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Bambang Widjojanto. "Asep salah satu hakim baik yang kita miliki. Dia hakim yang langka, di tengah citra buruk hakim saat ini," ujarnya.
TIM TEMPO
Baca juga:
Kisah Ola 1: Jalan Berliku Gadis Cianjur
Kisah Ola 2: Terpesona Pedagang Pakaian
Kisah Ola 3: Magic dan Kedok Suami
Kisah Ola 4: Dari Kurir Jadi Drug Trafficker
Kisah Ola 5: Lurah di Cianjur pun Tergiur
Kisah Ola 6, Alex Bambang: Ola Pemain Sandiwara
Kisah Ola 7: Nyanyian Khayalan di Penjara