Wawancara Suciwati Mengenang Munir
Sabtu, 8 September 2012 15:53 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - "Tidak dulu saja, sampai sekarang pun Munir masih tetap di hati saya," kata Suciwati, istri mendiang aktivis HAM Munir. Delapan tahun sudah Munir meninggalkan keluarganya. Dia tewas dibunuh di atas pesawat Garuda yang membawanya ke Amsterdam pada 7 September 2004. Pembunuhnya, seorang pilot: Pollycarpus Budihari Priyanto, memang dihukum 20 tahun penjara. Tapi dalang utama pembunuhan tokoh demokrasi dan HAM ini masih misterius hingga sekarang.
Sosok yang paling kehilangan Munir tentu Suciwati dan dua anak Munir: Alif Allende dan Diva Suukyi. Ketika ditemui Tempo, Kamis lalu, 6 September 2012, Suci dengan fasih menceritakan perjumpaan pertamanya dengan Munir dan lika-liku kisah asmara mereka yang unik. Berikut ini petikannya:
Kapan Anda pertama kali kenal Munir?
Saya pertama kali bertemu dia pada sebuah diskusi di Malang sekitar 1991. Aku punya kelompok buruh di Malang yang sering melakukan diskusi. Saat itu, Munir masih sukarelawan di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya Pos Malang. Kebetulan dia di bagian divisi advokasi buruh.
Apa kesan pertama Anda tentang sosok Munir?
Biasa saja. Awalnya, buat saya, tidak ada bedanya. Tapi, belakangan, saya tahu bahwa interaksi dia dengan teman-teman buruh itu luar biasa. Jauh lebih dalam dibandingkan advokat yang lain. Itu terlihat dari bagaimana dia bekerja, bertemu dengan orang-orang, tak hanya buruh. Saya lihat orang ini punya komitmen dan konsisten terhadap perkataan dan perbuatannya sendiri.
Bagaimana proses awalnya sehingga Anda lalu bisa menjadi lebih dekat dengan Munir?
Sejak awal itu, aku sama dia berteman. Aku tinggal di Malang, dia di Surabaya. Sebulan sekali dia datang, kalau jadi narasumber di Malang. Atau jika ada acara diskusi, kami ketemu lalu makan bareng. Awalnya, saya melihat dia lebih sebagai teman bareng saja. Yang membedakan, dia kemudian menyatakan perasaannya pada saya.
Bagaimana cara "nembak" gaya Munir?
Antik memang dia waktu itu (Suciwati tertawa--). Ketika dia mau menyatakan perasaan, dia menjajaki saya dulu. Dia memancing pendapat saya tentang arti cinta pertama. "Menurutmu, cinta pertama itu ada enggak sih?" Karena saya kan orangnya logic banget, saya bilang cinta itu proses, bukan melihat terus jadi. Tidak ada dari mata turun ke hati, itu kan ABG banget.
Terus dia bertanya lagi. "Kalau kamu diperhatikan seorang laki-laki, diajak nonton, diajak makan bareng, intinya diperhatikan. Menurutmu, orang itu pacar atau bukan?" Saya bilang enggaklah. Buat saya, orang baik dan perhatian enggak bisa dibilang pacar. Kok mudah sekali jadi pacar? Selama dia tidak pernah menyatakan perasaannya, ya bukan pacar.
Ini soal perasaan, keterusterangan, saya bilang pada dia. Apakah kamu punya niat khusus atau tidak, itu harus diucapkan. Tidak hanya simbol, karena kadang simbol bisa menyesatkan. Kadang penting bagi saya untuk itu jelas, caranya ya dengan ucapan, pernyataan. Perbuatan penting, tapi ucapan juga penting. Tentu lebih baik ada ucapan dan perbuatan, itu baru keren.
Lalu, kapan akhirnya dia menyatakan perasaannya?
Ngomongnya dia di mana coba? Di atas motor! Maksudnya ya kami berhenti dulu dan dia lalu ngomong (Suciwati tertawa lepas, meski agak tersipu--). Waktu itu, kami ketemu di sebuah diskusi buruh dan dalam perjalanan cari makan. Dia berhenti dan ngomong. Tapi sesudahnya dia bilang, 'Jangan jawab dulu, ya'.
Lucunya, setelah sampai di tempat makan, dia bilang jangan jawab dulu. Dia malah minta waktu satu minggu untuk datang lagi. Saya tanya kenapa? Dia bilang mau salat dulu. Dahsyat enggak, sih? Satu minggu kemudian dia datang lagi dan bilang sudah salat. Dia bilang sudah yakin atas perasaannya terhadap saya.
Langsung dibalas iya?
Saya bilang ke dia: sebetulnya saya mau bilang tidak atas pernyataan cintanya itu. Tapi saya juga tidak bisa bilang tidak karena saya juga punya perasaan yang sama. Masalahnya, kami sedang melakukan advokasi buruh. Biasanya, kalau kami punya perasaan secara pribadi, itu akan membuat apa yang kita lakukan jadi rancu. Aku takut ketika kami jadian, lalu tiba-tiba berantem, maka semua advokasi yang kami bangun rusak. Itu kan tidak profesional.
Akhirnya, aku bilang sama dia: ini sebuah komitmen yang harus dibangun berdua. Kami sepakat, kalaupun nanti, misalnya, kita tidak jadi secara khusus, kami berdua harus tetap profesional. Ya, sudah kami jalani, dan komitmen itu ternyata bisa kami jalankan.
Pacarannya "mulus"?
Ada juga putus-nyambung. Sesekali karena terasa berbeda, oke kita kasih jeda waktu. Kemudian jalan lagi. Pada satu titik, kami merasa pas. Meskipun pada waktu itu dia ingin segera (menikah) karena sebenarnya tidak ada konsep pacaran di adat keluarganya.
Berapa lama Anda pacaran?
Dia nyatakan perasaannya pada November 1992, dan kami menikah pada 1996.
Apakah Munir berubah setelah menikah? Jadi lebih romantis?
Ya, dia jadi jauh lebih romantis sesudah kami menikah. Bukan memberi hadiah atau apa pun, tapi yang lain. Misalnya, setiap bangun tidur, dia selalu bilang i love you.
Sampai Anda punya dua anak, kebiasaan itu terus dia lakukan?
Begitulah…
MUNAWWAROH
Berita Terpopuler:
Wanita Teman Telanjang Pangeran Harry Ditahan
Ribuan Pendukung Hartati Kepung KPK
Cari Donasi demi Tonton Eksekusi Pemerkosa Anaknya
40 Jenis Mobil Akan Dilarang Minum BBM Bersubsidi
Keputusan Arsenal Jual Van Persie-Song, Disesali
Sejumlah Tokoh Siapkan Mahfud MD Jadi Capres
Zulkarnaen Minta Sebutan Korupsi Al Quran Direvisi
Mau Sehat, Jangan Makan Camilan Ini
Tes Mamografi Malah Menyebabkan Kanker
Blatter: Ronaldo Jenderal, Messi Pesulap