Tak Sejahterakan Rakyat, Pemerintah Diminta Evaluasi Freeport
Reporter
Editor
Minggu, 30 Oktober 2011 15:44 WIB
Pekerja Freeport. REUTERS/Muhammad Yamin
TEMPO Interaktif, Jakarta - Komite Pusat Perhimpunan Rakyat Pekerja mendesak pemerintah mengevaluasi keberadaan PT Freeport Indonesia. Evaluasi itu dianggap penting menyusul konflik antara perusahaan tambang asal Amerika Serikat itu dan warga Papua. “Manfaat perusahaan itu sudah harus dievaluasi," kata Sekretaris Jenderal Komite, Anwar Ma’ruf, Minggu, 30 Oktober 2011.
Anwar mengatakan sejak beroperasi di Papua pada 1967 banyak permasalahan yang ditimbulkan PT Freeport. Dia mencontohkan gelombang unjuk rasa buruh hingga terpaksa mogok kerja untuk menuntut kesejahteraan. Pengerukan sumber tembaga dan emas di Papua, kata dia, hanya untuk kepentingan PT Freeport. Termasuk memberi upah aparat keamanan seperti kepolisian dan TNI, cuma untuk kelangsungan perusahaan.
Padahal, kata dia, selain tidak mensejahterakan buruh, juga telah menimbulkan kerusakan lingkungan. Selama PT Freeport Indonesia beroperasi Indonesia kehilangan 300 ribu hektare hutan per tahun. Pencemaran lingkungan diakibatkan oleh pembuangan tailing (limbah tambang) ke lembah Cartenz, lembah Wanagon, dan sungai Ajkwa.
Sejumlah permasalahan itu, menurut Anwar, tak sebanding dengan keuntungan besar yang didapat PT Freeport. Dalam kontraknya dengan Pemerintah Indonesia, Freeport hanya memberikan royalti sebesar 1 persen. Padahal dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2003 tentang Tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak, yang berlaku untuk royalti emas seharusnya sebesar 3,75 persen dari harga jual kali tonase. “PT Freeport terbukti tidak berguna bagi kehidupan rakyat Indonesia,” ujar Anwar.
Komite juga mengkritik sikap aparat yang berjumlah 635 personel TNI dan Polri. Mereka mau saja menerima kucuran duit dari PT Freeport sebesar Rp 1,25 juta per orang. “Hal itu mempertegas keberpihakan aparat keamanan kepada pemilik modal. Tidak mengherankan jika aparat akan lebih patuh kepada majikan dibandingkan melindungi rakyat,” kata dia.
Kepala Polri Jenderal Timur Pradopo mengakui aparatnya menerima uang dari PT Freeport. Uang saku itu bisa dipertanggungjawabkan. Selain polisi, aparat TNI juga dilibatkan dalam pengamanan tambang. Kepala Pusat Penerangan TNI Laksamana Muda Iskandar Sitompul mengatakan keberadaan TNI di Papua atas permintaan Kepolisian RI.
Juru bicara PT Freeport, Ramdani Sirait, mengatakan pemberian uang kepada aparat keamanan sesuai dengan kesepakatan. Soal tata cara penyetorannya, Ramdani mengaku lupa. "Enggak langsung ke polisi. Melalui Menteri Keuangan atau dengan siapanya saya lupa," ujar Ramdani ketika dihubungi Tempo.