Hadang Radikalisme, Anak Muda Diharapkan Membuka Diri
Rabu, 26 Oktober 2011 20:48 WIB
TEMPO Interaktif, YOGYAKARTA -- Masyarakat, khususnya anak muda, diharapkan membuka diri terhadap kelompok lain yang berbeda budaya ataupun agama. Hal ini diyakini bisa menumbuhkan rasa kebersamaan, saling percaya, dan saling pengertian di antara masyarakat dan membendung arus radikalisme. Salah satu cara membuka diri yang dipraktekkan oleh berbagai komunitas agama adalah dengan cara hidup bersama (live in) dengan komunitas yang berlainan agama.
"Para calon pastor tinggal di pesantren, demikian pula sebaliknya, juga mahasiswa persaudaraan lintas iman ke vihara dan tinggal di sana," kata Heru Prakoso, SJ, dosen filsafat agama Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma, dalam diskusi tentang terorisme, multikulturalisme, dan media di kampus Universitas Katolik Atma Jaya, Rabu 26 Oktober 2011.
Diskusi hasil kerja sama Tempo dengan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unika Atma Jaya serta Badan Eksekutif Mahasiswa Fisipol Unika Atma Jaya ini juga menghadirkan Ki Demang dari Paguyuban Sunda Wiwitan, yang mengulas soal multikulturalisme, dan Philipus Parera, Kepala Biro Tempo Yogyakarta, yang membahas soal peran media dalam pemberitaan tentang terorisme.
Diskusi selama tiga jam ini tidak hanya mengundang minat mahasiswa Universitas Atma Jaya, tapi juga Universitas Sanata Dharma, Universitas Gadjah Mada, dan beberapa universitas lain di Yogyakarta. Romo Heru menjawab pertanyaan peserta diskusi bagaimana cara anak muda menangkal radikalisme berkaitan dengan agama.
Heru mengakui tak mudah membangun proses multikulturalisme dalam masyarakat. Mengibaratkan proses hidup bersama yang dilakukan antarkomunitas, Heru mengumpamakan hasilnya baru sebatas orang yang baru kenal seminggu.
"Minggu pertama baru sebatas menanyakan namanya siapa, dari mana, baru sebatas itulah membangun multikulturalisme ," katanya. Hanya, menurut dia, hal tersebut wajar saja karena itu proses yang butuh waktu lama.
Adapun Ki Demang, yang mengaku terus-menerus mengkampanyekan multikulturalisme alias perseduluran kepada kalangan muda, mengatakan kebersamaan itu ibarat bunga di taman.
Ada melati, mawar, dan kemboja, yang kalau dirawat bersama-sama akan membuat taman lebih indah. "Jadi, kalau Anda Islam, jadilah muslim yang benar, atau Kristen, jadilah Nasrani yang benar. Tapi juga Anda harus menjadi orang Indonesia yang benar," ujarnya.
l BERNADA RURIT