Dadang menjelaskan, efek mengkonsumsi ganja adalah euforia, yaitu rasa senang tanpa sebab. Efek lain, muncul delusi, yaitu waham atau rasa percaya pada apa yang dianggap benar, padahal tidak. Efek ini, kata dia, berdampak jangka panjang berupa gangguan mental dan perilaku.
Pengguna ganja, lanjut Dadang, akan mengalami keadaan mal-adaptif, yakni tidak bisa beradaptasi dengan kenyataan. Dadang sering merawat pasien yang mengalami gangguan akibat ganja ini. "Yang awalnya baik-baik saja, setelah memakai ganja, berubah 180 derajat, jadi sering bolos, produktivitasnya menurun, ini mau jadi apa?" ujar Dadang.
Ia juga mengatakan tidak pernah mendengar ada pemakaian ganja untuk keperluan medis, seperti kemoterapi untuk penderita kanker atau pengobatan bagi pengidap HIV/AIDS. "Penelitian dari mana itu? Bohong itu." Dunia kedokteran, kata Dadang, saat ini sudah mulai meninggalkan zat yang bersifat adiktif untuk keperluan medis. "Morfin saja sekarang sudah tidak dipakai, diganti analgesik (penghilang rasa sakit) yang tidak membuat kecanduan," ujar Dadang.
Hal senada diungkapkan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Kalla menilai ganja barang berbahaya dan rawan penyalahgunaan di Indonesia. "Kalau ganja dilarang, berarti berbahaya," kata Kalla di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo setelah mengunjungi operasi katarak gratis oleh Palang Merah Indonesia.
Sebelumnya, sekitar 50 orang yang tergabung dalam Lingkar Ganja Nusantara melakukan aksi long march di Patung Tugu Tani, Jakarta Pusat. Mereka menuntut legalisasi ganja di Tanah Air. Mereka beralasan ganja memiliki berbagai manfaat, misalnya dalam bidang medis, yaitu untuk kemoterapi bagi penderita kanker. Ganja juga diklaim dapat digunakan sebagai bahan baku kertas.
Juru bicara Lingkar Ganja Nusantara, Dhira Narayana, mengatakan bila ganja dilegalisasi, peredarannya justru lebih mudah diawasi. "Karena barang legal, tentu peredarannya di bawah kendali pemerintah," kata Dhira.
Namun, Kepala Hubungan Masyarakat Badan Narkotika Nasional Sumirat Dwiyanto tidak sependapat. "Bila ganja dilegalisasi, semua orang malah lebih mudah mendapatkannya, sehingga risiko penyalahgunaannya meningkat," ujarnya dalam kesempatan terpisah.
Sumirat mengatakan mayoritas negara di dunia tetap menganggap ganja golongan narkotik, meski Belanda melegalkan tanaman bernama Latin Cannabis sativa tersebut di lokasi tertentu. "Tapi, pola pikir masyarakat Belanda dan Indonesia berbeda. Jadi, tidak bisa disamaratakan," tuturnya. Sumirat mengingatkan, di Belanda pun saat ini legalisasi ganja akan dikaji ulang.
RATNANING ASIH | ARIE FIRDAUS | ALWAN RIDHA RAMDANI | SITA