Jumlah Pekerja Anak di Indonesia Meningkat dan Mengkhawatirkan
Senin, 17 November 2003 13:56 WIB
Menurut Djoko, pembentukan komite ini tertuang dalam Keputusan Presiden (Kepres) RI Nomor 12 Tahun 2001. Disebutkan dalam keputusan itu, praktek memperkerjakan anak pada berbagai jenis pekerjaan terburuk harus segera dihapuskan. “Ini seperti merampas hak anak yang seharusnya tumbuh dalam lingkungan sosial dengan wajar,” kata dia.
Djoko melihat kondisi seperti ini sangat membahayakan masa depan anak. Semua level di Indonesia sudah harus memikirkan ke arah sana. Bahkan ILO sudah memberikan teguran kepada pemerintah Indoensia untuk membenahi kondisi ini. “Wajib belajar pada anak, seharusnya dilaksanakan dengan benar. Sebab tahapan pekerja anak sekarang ini sudah sangat membahayakan,” jelas dia.
Djoko mengatakan, permasalahan pekerja anak yang terjadi di Indonesia tergolong tertinggi di Asia. Sementara di dunia, dari 250 juta seluruh penduduknya, di Asia dan Oseania tergolong besar karena mencapai 61 persen. Sedangkan di Afrika 31 persen, Amerika Latin 7 persen dan Eropa 1 persen.
Pekerja anak di Indonesia dalam kelompok umur 10-14 tahun, terlihat sekali peningkatannya pada tahun 1996 hingga 1999. Pada 1995, jumlahnya masih 1,644 juta anak. Ini saja sudah tergolong besar. Tahun 1996 jumlah itu berkembang menjadi 1,768 juta anak dan 1997 menjadi 1,802 juta anak. Memasuki era krisis tahun 1998, terkadi pembengkakan jumlah yang menembus angka 2,183 juta pekerja anak. “Ini cukup serius hingga sekarang,” kata Djoko.
Secara umum, disebutkan Djoko, ada beberapa macam bentuk pekerjaan yang dilakukan anak Indonesia. Seperti misalnya, penjualan dan perdagangan anak-anak, kerja ijon (debt bondage) atau perhambaan serta kerja paksa dan wajib kerja, termasuk pengerahan anak-anak secara paksa untuk dimanfaatkan dalam konflik bersenjata.
Dari data Depnakertrans, bisa dirincikan macam bentuk pekerja anak tersebut. Di antaranya perdagangan anak (child trafficking) yang banyak ditemukan di seluruh tanah air. Tetapi perdagangan yang paling menonjol terjadi di Batam, Bali, Sumatera Utara dan Jakarta.
Memperkerjakan anak pada jam kerja malam, juga banyak terjadi di Sumatera Utara. Berbahaya lagi, kecenderungan pekerja anak dalam konflik bersenjata di Aceh, Ambon, Kalimantan Barat dan Irian Barat dinilai besar. Kecenderungan yang tidak bermoral juga terlihat pada pemanfaaatan anak untuk pelacuran atau konsumsi pornografi. Ini banyak terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan, Batam, Bandung, Semarang dan Denpasar. Selain soal itu, di kota besar juga banyak terjadi anak-anak di bawah usia menjadi penjual asongan.
Kemudian pabrik dan pertambangan, ternyata juga sering menjadi lahan eksploitasi anak. Pekerja anak di pertambangan, banyak terjadi di Kalimantan Timur dan Tengah, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Jawa, Sumatera dan Kalimantan Barat. Sedangkan pekerjaan di pabrik banyak pada industri tekstil, rotan, garmen, sepatu, rokok, industri kimia, obat nyamuk, batu bata. Pabrik-pabrik ini banyak terdapat di kota-kota besar seperti Bandung, Bogor, Tangerang, Bekasi, Cikarang, dan Jawa Tengah.
Bukan hanya itu saja, anak-anak banyak dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga juga. Ini hampir terjadi di seluruh Indonesia. Jenis pekerjaan ini, membutuhkan waktu kerja sangat panjang. Sehingga, anak-anak menjadi terisolasi dari keluarga dan lingkungan. Selain itu, juga beresiko mengalami kekerasan fisik dan seksual dari majikan.
Ada juga jenis pekerjaan anak sebagai penyelam mutiara di kepulauan Maluku, Sulawesi Selatan dan Tenggara, juga pulau-pulau kecil di bagian Timur Indonesia. Sementara anak-anak juga banyak bekerja menjadi pemecah batu dan bekerja di perkebunan. Lokasi terbanyak di Jawa Tengah Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung, Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah dan Utara.
Semua pekerjaan-pekerjaan yang dijelaskan tersebut cukup berbahaya bagi anak. Kecerdasan, kebebasan dan kesehatan anak mudah terpengaruhi. Baik secara fisik maupun moral psikisnya. Seperti misalnya kekerasan fisik dan mental, penyakit menular seksual, pelecehan seksual maupun verbal. Disini, anak-anak bisa menjadi trauma, kehilangan rasa kemanusiaan, menjadi pemabuk, terancam keselamatannya dan reintegrasi mereka ke masyarakat menjadi sulit. (E Karel Dewanto)