Wawancara dengan KH. Ali Yafie: Banyak Orang Tak Tahu Diri
Minggu, 22 Agustus 2010 11:03 WIB
Kiai Ali -begitu dia biasa dipanggil-- pernah menjadi pucuk di Majelis Ulama Indonesia. Ia juga pernah menjadi Rois Am organisasi Nahdlatul Ulama dan memutuskan keluar pada 1991 karena persoalan bantuan dana SDSB untuk yayasan melalui NU. Ia berharap organisasi Islam terbesar di Indonesia itu tetap menjaga fungsinya sebagai organisasi sosial, keagamaan dan pendidikan, tanpa politik.
Kiai Ali sekarang telah melepaskan hampir semua jabatan di organisasi. Ia lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Kiai kelahiran Donggala Sulawesi Tengah ini hanya sebulan sekali menggelar pengajian di luar rumah. "Saya tahu diri karena sudah tak muda lagi," kata dia.
Usia memang telah membatasi aktivitasnya. Jalan harus dibantu. Ia rutin suntik insulin karena gula darahnya tinggi. Kiai Ali juga hanya makan kentang dan wortel, tanpa nasi. Keluhan di tubuhnya, kata dia, sebagian besar lebih disebabkan faktor usia sehingga diminta dokter sabar. "Kalau dulu saya menyuruh orang bersabar, sekarang saya disuruh sabar sama dokter," ujarnya.
Meski lebih banyak di rumah, Kiai Ali tetap mengikuti perkembangan terkini seperti kasus kekerasan yang mengatasnamakan agama, kontroversi zakat serta organisasi yang telah membesarkannya Nahdlatul Ulama. Jumat pekan lalu, Kiai Ali menerima wartawan TEMPO Yandi M. Rofiyandi, Poernomo Gontha Ridho dan fotografer Suryo Wibowo di rumahnya di kawasan Bintaro, Tangerang. Ia masih semangat bercerita sejam lebih.
Bagaimana pelaksanaan kerukunan umat beragama di Indonesia, terutama ketika Ramadan ini?
Kita mulai dulu dari semboyan kerukunan hidup antar umat penganut agama yang berbeda. Awalnya muncul gagasan tri kerukunan yang dicetuskan almarhum Alamsjah Ratoe Perwiranegara waktu menjadi Menteri Agama 1983 - 1988. Kerukunan yang dimaksud adalah kerukunan intern umat beragama, kerukunan antar umat beragama dan kerukunan antara umat beragama dengan pemerintah.
Kiai termasuk yang menyumbangkan gagasan tri kerukunan?
Iya. Saya ikut menyumbangkan gagasan. Ketika pak Alamsyah pertama menjabat menjadi menteri, saya diajak keliling seluruh Jawa dan Madura sambil diskusi. Gagasan itu berkembang sampai sekarang. Tapi ada orang bicara motong-motong, tak utuh dan bicara untuk kepentingan masing-masing. Bahkan ada yang mencopot dengan mengatakan kerukunan antar agama. Padahal antar agama itu tak bisa, karena masing-masing punya prinsip.
Gagasan itu tak diundangkan?
Gagasan itu merupakan pencerahan kepada semua umat beragama. Tidak diundangkan atau dibuat peraturan. Pak Alamsyah tampil dengan gagasannya dan mendapat sambutan dari seluruh umat beragama dan pemerintah.
Sebelum ada tri kerukunan itu umat beragama di Indonesia kan sudah rukun...
Dalam prakteknya memang umat kita rukun. Tapi tak ada gagasan yang dirumuskan sedemikian lengkap seperti caranya pak Alamsyah. Di Indonesia belum pernah terjadi perang agama, berarti ada kerukunan. Zaman penjajahan dulu memang ada kekerasan antara penganut agama. Misalnya kekerasan Katolik dengan Protestan atau NU dengan Muhammadiyah. Tapi setelah merdeka tak ada lagi. Dulu bisa saling lempar batu.
Apakah tri kerukunan itu membawa pengaruh terhadap kerukunan hidup umat beragama?
Setelah pak Alamsyah mengembangkan tri kerukunan secara berangsur kerukunan itu terasa. Pengamat-pengamat luar negeri juga bangga melihat kerukuan umat beragama di Indonesia, dibandingkan Inggris dan Irlandia. Negara yang mirip dengan Indonesia itu Libanon. Di sana ada kekuatan Kristen, Islam, Syiah dan Suni tapi bisa rukun dan sedemikian rupa sehingga diatur dalam negara. Jadi umat berbeda agama bisa disatukan untuk membela negara.
Dalam kenyataannya sekarang tri kerukunan itu belum bisa membuat penganut Ahmadiyah tenang?
Ahmadiyah itu memang tak masuk tri kerukunan ini. Kita bicara Ahmadiyah tanpa kepentingan politik apapun. Dalam hal ini, tak mungkin ada orang yang lebih tahu tentang Ahmadiyah dibandingkan dengan negara asalnya, yakni Pakistan. Jadi tak mungkin orang Indonesia lebih tahu tentang Ahmadiyah. Di Pakistan, kelompok Ahmadiyah pernah meminta kursi perwakilan pada waktu awal pemerintahan Ali Jinnah. Akhirnya diambil keputusan memberi satu kursi, yaitu kursi minoritas non Islam. Itu keputusan pemerintah. Ahmadiyah diberikan kursi perwakilan kursi minoritas non Islam.
Jadi bukan bagian dari Islam?
Iya, bukan sebagai intern umat Islam. Mereka lebih tahu dari kita, sebab ajaran ini lahir di sana. Menurut saya, orang Pakistan lebih tahu dari Indonesia. Kita kan cuma main akal-akalan, tak tahu sejarahnya.
Tapi bukan berarti membenarkan adanya diskriminasi terhadap Ahmadiyah?
Tidak. Ahmadiyah boleh saja kalau menempatkan dirinya sebagai minoritas non Islam. Umat Islam kan bisa kerja sama dengan non Islam. Saya sudah mengkaji dan menyaksikan di Pakistan dan Bangladesh.
Bagaimana dengan kekerasan terhadap Ahmadiyah yang terjadi belakangan ini?
Seharusnya memang tak ada kekerasan. Asal mereka tahu menempatkan dan membawa diri. Ada satu kaidah pergaulan yang sifatnya universal yaitu setiap manusia harus tahu diri. Orang tahu diri pasti tahu menempatkan diri. Orang yang menempatkan diri pasti tahu membawa diri. Jangan salah tempat, harus tahu sopan santun pergaulan. Kita sekarang melihat di Indonesia, terlalu banyak orang tak tahu diri sehingga banyak kekacauan.
Mengapa kasus Ahmadiyah baru muncul belakangan? Apakah waktu Kiai di MUI belum muncul masalah?
Memang tak pernah bermasalah. Saya juga hanya sepintas saja di MUI. Saya cuma menyelesaikan periode pak Hasan Basri. Waktu itu memang seluruh orang fokus ke reformasi.
Dari zaman Orde baru juga sebenarnya tak ada kasus konflik Ahmadiyah?
Memang tidak ada karena diatur sedemikian rupa oleh pemerintah. Dengan segala kejelekannya, Orde Baru kendalinya sangat kuat. Setelah reformasi kan kebablasan sehingga tak tahu aturan. Demokrasi kebablasan sehingga orang bisa seenaknya. Bebas dengan berkeras.
Dengan situasi sekarang, apakah perlu campur tangan negara?
Mestinya negara punya ketegasan dan campur tangan seperti di Pakistan. Warga Ahmadiyah yang tak mengikuti ketentuan pindah ke London. Menteri Luar Negeri pertama juga dicopot akibat keputusan tegas di Pakistan itu. Sejarahnya jelas.
Dengan keputusan pemerintah soal status Ahmadiyah sebagai non-Islam itu apakah akan menyelesaikan masalah kekerasan terhadap Ahmadiyah?
Iya betul. Kalau begitu, orang sudah saling tahu diri dan menempatkan diri.
Bagaimana mengenai sekelompok orang yang mengatasnamakan agama, misalnya menjelang Ramadan melakukan sweeping sehingga meresahkan warga non-Islam?
Itulah sebahagian yang disebut tak tahu diri. Jadi seenaknya saja, di samping memanfaatkan kelemahan pemerintah. Kalau pemerintah kuat tak akan terjadi. Pengawasan dan kebijakan pemerintah sekarang tak mampu menciptakan apa yang telah dilakukan orde baru meskipun banyak kejelekannya. Ini kenyataan, saya tak bicara mengenai agama tapi kenyataan.
Wawancara selengkapnya bias dibaca di Majalah TEMPO yang terbit Senin (23/8).
POERNOMO GONTHA RIDHO | YANDI M ROFIYANDI