Ladang minyak Montara milik PTT Exploration and Production Public Company Limited Australasia (PPTEP-AA) di Blok Atlas Barat meledak pada Agustus tahun lalu. Ledakan itu memuntahkan minyak ke laut, termasuk ke perairan Indonesia timur. Menurut Ketua Tim Nasional Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut Timor, Freddy Numberi, dari 56 ribu kilometer area tumpahan minyak, ada 16 ribu kilometer perairan Indonesia timur yang terkena imbas.
Sejauh ini, Frans Lebu menambahkan, pemerintah provinsi baru menerima laporan kerugian dari Pemerintah Kabupaten Rote Ndao, yakni sebesar Rp 300 miliar. Kerugian timbul, antara lain, setelah petani rumput laut di wilayah tersebut mengaku gagal panen, sedangkan nelayan mengeluh hasil tangkapannya merosot.
Sementara itu, laporan kerugian dari kabupaten lainnya, seperti Sabu Raijua, Timor Tengah Selatan, Alor, Belu, dan empat kabupaten di Pulau Sumba, hingga saat ini belum ada. “Namun diperkirakan kerugiannya mencapai Rp 700 miliar,” kata Frans Lebu.
Di Jakarta, Freddy Numberi menyatakan, pemerintah saat ini belum menetapkan ganti rugi yang tetap kepada PPTEP-AA. Sebab, Tim Nasional masih menghitung angka ganti rugi jangka panjang. “Hingga kini, Tim masih menghitung angka kerugian jangka panjang, termasuk kerusakan terumbu karang, komoditas ikan, rumput laut, dan mangrove,” katanya dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VII di gedung DPR kemarin.
Isma Yatun, anggota Komisi VII dari Fraksi PDI Perjuangan, menilai pemerintah tidak serius memperjuangkan ganti rugi dalam kasus ini. Sebab, hampir setahun setelah ledakan terjadi, namun belum ada kemajuan. "Validasi data ini sampai kapan, penduduk butuh tindakan nyata,” katanya.
YOHANES SEO | DIANING SARI