Pemerintah Didesak Periksa Rekening Pribadi Petinggi Ditjen Pemasyarakatan
Reporter
Editor
Minggu, 17 Januari 2010 18:05 WIB
TEMPO Interaktif, Jakarta - Sebagai tindak lanjut terbongkarnya kamar mewah di Rumah Tahanan Pondok Bambu, pemerintah didesak segera memeriksa rekening pribadi seluruh petinggi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Pemeriksaan itu bisa memperlihatkan ada tidaknya aliran dana haram dari narapidana dan tahanan yang ditukar dengan fasilitas khusus.
"Semua harus diperiksa, mulai dari Direktur Jenderalnya, Untung Sugiono, Kepala Divisi Pemasyarakatan Depkumham DKI Jakarta, Kakanwil Depkumham DKI Jakarta, sampai semua Kepala Lembaga Pemasyarakatan dan Kepala Rumah Tahanan," kata Koordinator Divisi Hukum dan Pemantauan Peradilan ICW Illian Deta Arta Sari di kantornya, Ahad (17/1).
Pemerintah juga diminta melakukan terapi kejut bagi petugas pemasyarakatan di jajaran di kantor wilayah ataupun pusat yang menerima suap dan melakukan pungutan liar. "Harusnya diberhentikan atau dikenakan sanksi yang berat," ujar Illian.
Menurut dia, sejak lama beragam pungutan liar mendera narapidana dan tahanan. Mulai dari panggilan kunjungan keluarga, sel yang layak huni, hingga hak remisi dikomersialkan oleh para sipir dan atasannya.
Hasil penelitian di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang bahkan menyatakan nilai pungutan tiap tahun bisa mencapai Rp 21,18 miliar. Riset yang dilakukan jejaring lembaga swadaya masyarakat, termasuk Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia itu, kata Illian, dilakukan tahun 2008.
Pemerintah pun dinilai perlu membuat standar aturan yang jelas mengenai kelayakan sel tahanan. Semestinya, ada batasan maksimal apa yang bisa dibawa narapidana dan tahanan ke dalam penjara.
Ia berpendapat jangan sampai lagi ada pengistimewaan tahanan seperti Arthalyta Suryani yang kamarnya memakai pendingin udara karena rekomendasi dokternya. Atau dengan alasan narapidana tidak biasa memakai kloset jongkok, diberilah ia kloset duduk. "Kalau mau sama, semuanya saja dikasih AC (pendingin udara), semuanya dikasih kloset duduk," tuturnya.
Peneliti ICW Febri Diansyah mengatakan masalah kelebihan kapasitas diperparah dengan praktek pembedaan perlakuan itu. "Satu sel bisa diisi satu orang, padahal di sebelahnya bisa diisi sampai 30 orang," ucapnya.