Konferensi Bangkok Gagal Capai Kesepakatan Target Pengurangan Emisi

Reporter

Editor

Senin, 12 Oktober 2009 20:28 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta - Negara-negara maju belum bisa mencapai kata sepakat tentang besaran penurunan emisi pada konferensi perubahan iklim di Bangkok, Thailand, pada 29 September-9 Oktober lalu. "Negara maju menolak usulan angka penuruan emisi secara bersama-sama (agregat)," papar Kepala Sekretariat Dewan Nasional Perubahan Iklim Agus Purnomo dalam konferensi pers di kantornya, Senin (12/10).

Komitmen penurunan emisi gas rumah kaca secara agregat (bersama-sama) diusulkan sebesar 40 persen pada 2020 berdasarkan basis tahun 1990. Penurunan ini wajib bagi negara maju yang tergabung dalam Annex I.

Meski komitmen negara maju dipertanyakan, tapi Agus optimis pengurangan emisi gas rumah kaca secara agregat 40 persen akan bisa tercapai. Terlihat dari komitmen Jepang misalnya. "(Jepang) Dulu hanya (komitmen) 8 persen kini naik untuk menurunkan emisi gas rumah kaca hingga 25 persen," urainya. Begitu pula Norwegia dari yang 25-30 persen menjadi 40 persen. Kedua negara tersebut sudah menyatakan secara resmi targetnya di depan forum.

"Negara maju lainnya, agak jauh dibawah," ia menyayangkan. Australia contohnya, bersedia menurunkan emisi menjadi 20 persen dengan basis tahun 2000, Kanada maksimal menurunkan 20 persen dengan basis 2006. Kalau dijumlahkan rata-rata penurunan emisi negara-negara maju tersebut hanya 15-20 persen. "Itu baru separuh dari apa yang diperlukan dunia untuk tidak memanas lebih dari 2 derajat celcius," papar Agus.

Akibatnya, dapat dipastikan pada 2020, suhu bumi akan naik lebih dari dua derajat celsius. "Kami akan menekan negara maju pada pertemuan di Barcelona,agar ada target penurunan emisi" tegas Agus.

Konferensi di Barcelona, Spanyol awal November 2009, merupakan perundingan terakhir menjelang Konferensi Perubahan Iklim di Kopenhagen, Denmark, pada bulan Desember mendatang. Konferensi di Kopenhagen mengagendakan mengganti Protokol Kyoto yang akan habis pada 2012. Isi Protokol Kyoto tahun 1997 lalu adalah kewajiban penurunan emisi gas rumah kaca bagi negara-negara maju sebesar 5,2 persen dibanding tahun 1990.

Amerika Serikat, Ia menambahkan, berjanji akan membawa angka penurunan emisi gas rumah kaca pada perundingan di Kopenhagen. "Kalau Amerika membawa angka, maka banyak negara maju yang lebih berani menaruh angka," ucap Agus. Amerika Serikat merupakan negara yang tidak bersedia menandatangani protokol Kyoto.

Adapun Indonesia, sesuai pernyatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pertemuan G-20 akan menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26 persen. Penurunan ini dari skenario Business As Usual di tahun 2020. "Angka ini yang paling kongkret dibanding negara berkembang lainnya, dengan biaya sendiri pula," ujar Agus. Padahal tidak ada kewajiban dari negara berkembang untuk menurunkan emisi gas rumah kaca.

Indonesia, ia menambahkan, kini sudah mengeluarkan uang untuk menurunkan emisi. Besarnya Rp 5- 10 Triliun per tahun. Biaya tersebut antara lain untuk meninggikan jalan, membuat tanggul di pesisir pantai. Jumlah ini, ujar Agus, menunjukkan pembangunan di Indonesia menjadi lebih mahal akibat perubahan iklim. "Departemen Keuangan sudah menghitung," jelasnya.

Pemerintah juga sudah memberlakukan insentif pajak bagi upaya penurunan emisi. Akibatnya, Agus menjelaskan, penerimaan negara berkurang. Pada 2020, Indonesia membutuhkan hingga Rp 70 triliun untuk upaya penurunan emisi. Kalau ada bantuan internasional senilai Rp 60 triliun, lanjutnya, maka penurunan emisi gas rumah kaca di Indonesia bisa mencapai 41 persen.

DIANING SARI

Berita terkait

Suhu Panas, BMKG: Suhu Udara Bulan Maret 2024 Hampir 1 Derajat di Atas Rata-rata

1 hari lalu

Suhu Panas, BMKG: Suhu Udara Bulan Maret 2024 Hampir 1 Derajat di Atas Rata-rata

Suhu panas yang dirasakan belakangan ini menegaskan tren kenaikan suhu udara yang telah terjadi di Indonesia. Begini data dari BMKG

Baca Selengkapnya

Kemenkes, UNDP dan WHO Luncurkan Green Climate Fund untuk Bangun Sistem Kesehatan Menghadapi Perubahan Iklim

2 hari lalu

Kemenkes, UNDP dan WHO Luncurkan Green Climate Fund untuk Bangun Sistem Kesehatan Menghadapi Perubahan Iklim

Inisiatif ini akan membantu sistem kesehatan Indonesia untuk menjadi lebih tangguh terhadap dampak perubahan iklim.

Baca Selengkapnya

Kerusakan Alat Pemantau Gunung Ruang, BRIN Teliti Karakter Iklim, serta Kendala Tes UTBK Mengisi Top 3 Tekno

4 hari lalu

Kerusakan Alat Pemantau Gunung Ruang, BRIN Teliti Karakter Iklim, serta Kendala Tes UTBK Mengisi Top 3 Tekno

Artikel soal kerusakan alat pemantau erupsi Gunung Ruang menjadi yang terpopuler dalam Top 3 Tekno hari ini.

Baca Selengkapnya

Pusat Riset Iklim BRIN Fokus Teliti Dampak Perubahan Iklim terhadap Sektor Pembangunan

4 hari lalu

Pusat Riset Iklim BRIN Fokus Teliti Dampak Perubahan Iklim terhadap Sektor Pembangunan

Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN fokus pada perubahan iklim yang mempengaruhi sektor pembangunan.

Baca Selengkapnya

Kemenkes, UNDP dan WHO Perkuat Layanan Kesehatan Hadapi Perubahan Iklim

5 hari lalu

Kemenkes, UNDP dan WHO Perkuat Layanan Kesehatan Hadapi Perubahan Iklim

Kemenkes, UNDP dan WHO kolaborasi proyek perkuat layanan kesehatan yang siap hadapi perubahan iklim.

Baca Selengkapnya

Amerika Perkuat Infrastruktur Transportasinya dari Dampak Cuaca Ekstrem, Kucurkan Hibah 13 T

12 hari lalu

Amerika Perkuat Infrastruktur Transportasinya dari Dampak Cuaca Ekstrem, Kucurkan Hibah 13 T

Hibah untuk lebih kuat bertahan dari cuaca ekstrem ini disebar untuk 80 proyek di AS. Nilainya setara separuh belanja APBN 2023 untuk proyek IKN.

Baca Selengkapnya

Diskusi di Jakarta, Bos NOAA Sebut Energi Perubahan Iklim dari Lautan

16 hari lalu

Diskusi di Jakarta, Bos NOAA Sebut Energi Perubahan Iklim dari Lautan

Konektivitas laut dan atmosfer berperan pada perubahan iklim yang terjadi di dunia saat ini. Badai dan siklon yang lebih dahsyat adalah perwujudannya.

Baca Selengkapnya

Peneliti BRIN Ihwal Banjir Bandang Dubai: Dipicu Perubahan Iklim dan Badai Vorteks

16 hari lalu

Peneliti BRIN Ihwal Banjir Bandang Dubai: Dipicu Perubahan Iklim dan Badai Vorteks

Peningkatan intensitas hujan di Dubai terkesan tidak wajar dan sangat melebihi dari prediksi awal.

Baca Selengkapnya

5 Hal Banjir Dubai, Operasional Bandara Terganggu hingga Lumpuhnya Pusat Perbelanjaan

16 hari lalu

5 Hal Banjir Dubai, Operasional Bandara Terganggu hingga Lumpuhnya Pusat Perbelanjaan

Dubai kebanjiran setelah hujan lebat melanda Uni Emirat Arab

Baca Selengkapnya

Maret 2024 Jadi Bulan ke-10 Berturut-turut yang Pecahkan Rekor Suhu Udara Terpanas

21 hari lalu

Maret 2024 Jadi Bulan ke-10 Berturut-turut yang Pecahkan Rekor Suhu Udara Terpanas

Maret 2024 melanjutkan rekor iklim untuk suhu udara dan suhu permukaan laut tertinggi dibandingkan bulan-bulan Maret sebelumnya.

Baca Selengkapnya