Mantan Anak Buah Mardani H Maming Divonis 2 Tahun Penjara
Reporter
Diananta P. Sumedi (Kontributor)
Editor
Febriyan
Rabu, 22 Juni 2022 13:48 WIB
TEMPO.CO, Banjarmasin - Terdakwa dugaan korupsi peralihan izin usaha pertambangan, Raden Dwidjono Putrohadi Sutopo, divonis dua tahun penjara dalam sidang putusan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Banjarmasin, Rabu 22 Juni 2022. Bekas anak buah Bupati Tanah Bumbu, Mardani H Maming itu juga diharuskan membayar denda Rp 500 juta subsider empat bulan kurungan.
Hakim Ketua Yusriansyah menyatakan terdakwa Raden Dwidjono Putrohadi Sutopo terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang sebagamana dakwaan kesatu dan kedua primer.
“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa selama dua tahun dan denda sebesar Rp 500 juta, dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, diganti pidana kurungan selama empat bulan,” kata Yusriansyah saat membacakan putusan.
Putusan majelis hakim lebih rendah dari tuntutan JPU yang menuntut terdakwa Dwidjono selama lima tahun penjara dan denda Rp 1,3 miliar, dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar, maka diganti kurungan badan selama satu tahun.
Selain itu, terdakwa Dwidjono dibebaskan dari kewajiban membayar uang pengganti, menetapkan masa penahanan terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan, dan menetapkan terdakwa tetap dalam tahanan. Majelis hakim turut menyita sebagian barang bukti untuk negara, dan sebagian dikembalikan kepada keluarga terdakwa.
Atas putusan ini, Yusriansyah mempersilakan pihak JPU dan terdakwa mempertimbangkan apakah menerima atau banding dalam kurun waktu satu pekan, sejak putusan diketuk hari ini.
Dalam pertimbangannya, majelis hakim ikut menyebut nama mantan Bupati Tanah Bumbu periode 2010-2018 Mardani H Maming. Politikus PDIP itu disebut memperkenalkan Dwidjono yang menjabat sebagai Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Tanah Bumbu kepada Henri Soetio, Direktur Utama PT Prolindo Cipta Nusantara (PCN), perusahaan yang memproses pengalihan Izin Usaha Pertambangan (IUP) dari PT Bangun Karya Pratama Lestari.
Dari perkenalan ini, terdakwa dan Henri Seotio beberapa kali bersua untuk membahas pengalihan IUP tersebut. Setelah itu, terdakwa Dwidjono membuat surat rekomendasi atas nama Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Tanah Bumbu.
“Bahwa atas dasar surat rekomendasi tersebut, Bupati yang dijabat saksi Mardani H Maming menandatangi surat keputusan pengalihan IUP Operasi Produksi batu bara PT BKPL kepada PT PCN. Setelah saksi Mardani H Maming selaku Bupati Tanah Bumbu menerbitkan SK tanggal 16 Mei 2011, pada tahun 2013 PT PCN melakukan penambangan,” tutur majelis hakim.
Kuasa hukum terdakwa Dwidjono, Lucky Omega Hasan, mengapresiasi kebijaksanaan majelis hakim atas putusan terhadap kliennya. Menurut Lucky, putusan itu terkait pasal 11 UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
“Bahwa sesuai tuntutan JPU pasal 12 b, tapi tidak terbukti dan tidak diputus dalam putusan tadi. Maknanya apa? Bahwa klien kami sesuai fakta persidangan sampai putusan persidangan, tidak ada bukti bahwa dari PCN atau Henri Seotio memberikan janji atau iming-iming kepada klien kami untuk melakukan peralihan IUP,” kata Lucky Omega Hasan.
Menurut Lucky, terdakwa Dwidjono hanya menjalankan perintah dari Bupati Mardani H Maming. Adapun pemberian uang senilai Rp 13,6 miliar terkait jabatan Dwidjono, bukan terkait peralihan IUP.
“Kalau terkait peralihan IUP, kena 12 b. Di sini kaitannya hanya jabatan saja menerima uang yang tidak diperkenankan menurut undang-undang. Dari fakta persidangan, yang diterima klien kami tidak Rp 27 miliar sebagaimana dakwaan, tapi sebesar Rp 13 miliar. Itu hasil pertimbangan majelis,” ujar Lucky.
Kasus ini sempat dilaporkan pihak Dwidjono kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam laporannya, Dwidjono membeberkan peran Mardani H Maming. Mereka menyatakan bahwa Bendaraha Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulamah (PBNU) itu yang menerima aliran dana dari PT PCN mencapai Rp 89 miliar. KPK pun telah meminta Ditjen Imigrasi untuk mencekal Mardani ke luar negeri dengan statusnya sebagai tersangka. Pihak Mardani pun membantah tudingan tersebut.
Baca: KPK Minta Mardani Maming Tak Beropini soal Kasusnya