TEMPO Interaktif, Jakarta:Koalisi untuk Keselamatan Masyarakat Sipil mengajukan permohonan judicial review terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 1 Tahun 2002 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme. Permohonan itu disampaikan ke Mahkamah Agung, Rabu (22/1), dan diterima oleh Endang Murtiningsih, Kepala Seksi Registrasi Sub Direktoratr Kasasi dan PK Tata Usaha Negara, Mahkamah Agung Koordinator koalisi, Munir, mengatakan Perppu tersebut berpotensi untuk merusak sistem hukum di Indonesia. Peluang rusaknya sistem itu terlihat dari keterlibatan BIN dalam proses praperadilan untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka dalam tindak terorisme. Pada pasal 26 Perppu itu disebutkan untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat menggunakan setiap laporan intelejen. Dalam hal ini, Munir menilai pasal itu membuat BIN mengambil alih posisi intelejen judicial yang seharusnya dipegang kejaksaan. Bila BIN dijadikan seperti kejaksaan berarti menempatkan peradilan bagi kekuatan politik, tutur Munir. Selain itu, penggunaan data intelejen diyakini Munir membuka peluang tindak kesewenang-wenangan BIN untuk menangkap masyarakat sipil. Bila itu terjadi, Akan menimbulkan efek intervensi habis-habisan terhadap sistem kehakiman, tandasnya. Lebih lanjut, Munir --yang juga Dewan Penyantun Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KONTRAS) itu-- mengungkap keberatannya jika praperadilan tindak terorisme menggunakan laporan BIN untuk menyeret seseorang ke meja hijau. Pasalnya, jika laporannya salah, tersangka tidak bisa menyalahkan BIN atas laporannya. Mekanisme praperadilan seperti ini, menurut Munir, juga memberikan kekebalan kepada hakim yang salah dalam menjatuhkan keputusannya akibat laporan tersebut. (Sri Wahyuni-Tempo News Room)