Jurnalis Peraih Nobel Dukung Kolaborasi Hadapi Serangan ke Pers dan Demokrasi
Reporter
Budiarti Utami Putri
Editor
Aditya Budiman
Sabtu, 9 Oktober 2021 07:45 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Jurnalis senior Filipina Maria Ressa menyatakan berdiri satu barisan bersama koalisi tiga negara untuk merespons menguatnya tekanan terhadap pers dan demokrasi di Asia Tenggara. Peraih penghargaan Nobel Perdamaian 2021 ini menekankan pentingnya kerja sama yang solid dalam menghentikan serangan terhadap jurnalis lewat penyalahgunaan hukum dan manipulasi informasi.
"Saya menyukai gagasan komunitas yang ingin kita bangun bersama ini. Lebih-lebih pada situasi pandemi, di mana orang-orang merasa terisolasi sehingga rawan sekali dimanipulasi lewat media sosial," kata Maria dalam Forum Regional Press in Distress secara virtual pada Jumat, 8 Oktober 2021, dikutip dari keterangan tertulis.
Forum regional dan koalisi ini merupakan gagasan sejumlah organisasi dan sineas di tiga negara, yakni Indonesia, Malaysia, dan Filipina. Organisasi yang terlibat yakni Aliansi Jurnalis Independen (Indonesia); Freedom Film Network, Gerakan Media Merdeka (Geramm), Center for Independen Journalism (CIJ) dari Malaysia; serta Dakila, Active Vista, dan Rappler di Filipina.
Forum ini dibuka dengan pemutaran film dokumenter A Thousand Cuts yang mengisahkan perjuangan Maria Ressa dan tim Rappler melawan kesewenang-wenangan rezim Presiden Rodrigo Duterte. Khususnya dalam penanganan isu-isu narkoba.
"Sangat penting bagi kita semua untuk bersama-sama melindungi institusi pers. Karena jika jurnalisme independen mati, maka demokrasi juga akan mati," kata Anna Har, pendiri Freedom Film Network.
Jurnalis senior Tempo Arif Zulkifli mengatakan apa yang dialami Maria Ressa di Filipina merupakan potret demokrasi saat ini yang juga terjadi di Indonesia dan negara-negara lain. Ia menyebutkan serangkaian serangan fisik, digital, hingga kriminalisasi pun menimpa jurnalis dan aktivis di Indonesia yang bersuara keras mengkritik kebijakan-kebijakan yang dinilai merugikan publik.
Kebijakan yang dipandang merugikan publik itu misalnya Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja dan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi pada 2019 lalu. Tanpa perlawanan serius, lanjut anggota Dewan Pers ini, serangan tersebut akan menjadi jalan pintas terhadap pembungkaman media dan siapa saja yang berusaha kritis menyuarakan kebenaran.
Pendiri Malaysiakini, Steven Gan, menyoroti perlunya penggalangan dukungan publik terhadap pers, termasuk dalam pembiayaan. Ia menilai kebebasan pers akan sulit ditegakkan jika publik tak melihat jurnalisme sebagai hal yang serius untuk diperhatikan.
Baik AJI, CIJ, Geramm, dan Dakila menilai perlunya melanjutkan kolaborasi ini di tingkat kawasan. Juru bicara Geramm, Radzi Razak mengatakan, perlu ada solidaritas dan semangat bersama mengawal kebebasan pers di Asia Tenggara.
"Kemenangan Maria Ressa akan membakar semangat media di Malaysia untuk bersuara lebih lantang dalam menyuarakan kebebasan pers dan berekspresi," ujar Radzi.
Ketua AJI Indonesia Sasmito Madrim mengatakan akan terus membuka ruang-ruang kolaborasi dengan berbagai jejaring di Asia Tenggara. Koalisi tiga negara ini, lanjutnya, merupakan alarm terhadap menguatnya kekuasaan yang dirasa mulai antidemokrasi.
"Jurnalis tidak boleh ditundukkan, karena jurnalis harus berperan sebagai watchdog (anjing penjaga), mengawal demokrasi, mengungkap praktik-praktik kotor, serta melawan penyalahgunaan kekuasaan," kata Ketua Aliansi Jurnalis Independen, Sasmito.
Baca juga: Mengenal Jurnalis Pemenang Nobel Perdamaian 2021, Maria Ressa dan Dmitry Muratov
BUDIARTI UTAMI PUTRI