Warga Papua Peminta Suaka Australia Mengadu ke Komnas HAM
Reporter
Editor
Senin, 20 Oktober 2008 17:35 WIB
TEMPO Interaktif, Jakarta:Dua warga Indonesia asal Papua yang pernah meminta suaka politik ke Australia mendatangi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, kemarin. Mereka meminta perlindungan Komnas HAM. Kedua orang itu yakni Yubel Kareni, 22 tahun, dan Hana Gobay, 23 tahun, mengaku diancam akan dibunuh oleh para pihak yang mengaku tidak suka Papua menjadi bagian Indonesia. Kalau kami memaksa kembali di Indonesia, kami diancam akan dibunuh karena dianggap pengkhianat, kata Hana di kantor Komnas HAM.Yubel dan Hana menuturkan pada Mei 2004 bersama 43 warga Papua lainnya berangkat ke Australia menggunakan perahu tradisional melalui Merauke, Papua. Pada Januari 2005, mereka sampai ke Australia. Hanasemula mahasiswi semester VII Universitas Manadomenjelaskan, ke-43 orang yang berangkat itu pada awalnya diiming-imingi studi gratis ke Australia. Setiap orang diwajibkan membayar sebesar Rp 7 juta pada Herman Wainggai, yang belakangan diketahui pentolan Organisasi Papua Merdeka dan West Papua Authorities.Di Australia, kata mereka, selain mendapat suaka mereka juga dijamin per dua minggu mendapat dana dari pemerintah Australia senilai US$ 450 dan perumahan gratis. Namun, belakangan mereka baru mengetahui didoktrin politik untuk mendukung Papua tidak menjadi bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia. Yubel bahkan baru mengetahui kalau mereka mendapat suaka. Kami merasa ditipu, kata Yubel yang semula siswa kelas 3 di SMA Serui Papua.Hana dan Yubel mengatakan, aktivitas di Australia penuh dengan aroma politik untuk memisahkan Papua dari Indonesia. Hana dan Yubel menyarankan warga Papua agar tidak mudah terbujuk rayu iming-iming studi ke Australia. Karena ujung-ujungnya kami diminta mendukung gerakan separatis mereka, kata Hana. Karena dijadikan obyek inilah mereka memutuskan lari dari Australia dan kembali ke Papua.Keduanya tiba di Indonesia pada 23 September lalu atas bantuan Kedutaan Besar Australia untuk Indonesia di Canberra. Dari Australia mereka mendarat ke Denpasar, Bali, dan langsung melanjutkan perjalanan ke Papua.Adapun Komnas HAM, menanggapi permohonan keduanya, langsung mengirim surat dengan nomor 2.373/K/PMT/IX/2008 kepada Gubernur Papua dan Kepolisian Daerah Papua. Komnas meminta kedua lembaga pemerintahan itu memberi perlindungan untuk mendapatkan hak-hak terutama hak pendidikan.Surat yang ditandatangani Komisioner Johny Nelson Simajuntak, Komnas HAM meminta mereka melindungi keduanya agar bebas dari tekanan pihak lain. Kedua orang ini mengadu ke Komnas HAM karena sepulang ke Papua, mereka terus-menerus mendapat tekanan.| Anton Aprianto
Matematika politik bisa berlangsung seperti berikut: jika mayoritas keliru, minoritas yang baik dan benar menjadi musuh rakyat. Dalam arti ini, musuh rakyat bermakna positif, dan jika mayoritas semacam ini memenangi pemilihan umum, demokrasi jelas menunjukkan kelemahannya. Plato sudah lama menunjuk demokrasi sebagai kapal berisi orang-orang bodoh, sejak Socrates harus dihukum mati minum racun berdasarkan pemungutan suara dari 501 anggota parlemen Athena pada 399 SM. Dengan ajaran logikanya, Socrates, antara lain, didakwa menista dewa-dewa Yunani.