Setara Sebut Kepemimpinan Jokowi Suburkan Intoleransi di Indonesia
Reporter
M Rosseno Aji
Editor
Syailendra Persada
Senin, 16 November 2020 15:27 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Setara Institute menilai lemahnya kepemimpinan Presiden Joko Widodo atau Jokowi dan jajarannya menguatkan intoleransi di Indonesia. Menurut Setara, pelemahan kepemimpinan nasional yang menyuburkan intoleransi itu makin terlihat di periode kedua Jokowi.
“Alih-alih membangkitkan harapan publik, tahun pertama periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi justru menunjukkan lemahnya kepemimpinan nasional dalam jaminan hak untuk beragama atau berkeyakinan secara merdeka sesuai dengan Konstitusi,” kata Direktur Riset Setara, Halili Hasan dalam siaran pers memperingati Hari Toleransi Internasional, Senin, 16 November 2020.
Menurut Halili, terpilihnya Jokowi pada 2014 sebetulnya memunculkan harapan publik terhadap meningkatnya toleransi. Namun, harapan itu memudar. Dia mengatakan politik akomodasi yang dipakai Jokowi di periode keduanya berkontribusi melemahkan kepemimpinan Jokowi dalam pemajuan toleransi, kebebasan berkeyakinan dan hak asasi manusia.
Di tengah kepemimpinan nasional yang lemah, kata dia, basis sosial toleransi ikut memburuk. Hal itu ditandai dengan rendahnya kesalingpahaman antar identitas yang dipicu oleh pembiaran ekspresi kebencian atas nama agama oleh figur-figur publik dan politisasi agama. Meningkatnya segregasi sosial dan maraknya ekspresi terbuka mengenai intoleransi, pelanggaran hak serta kekerasan atas nama agama.
Selain itu, dia mengatakan lemahnya kepemimpinan nasional di bidang pemajuan toleransi dan kebebasan beragama dipertegas dengan buruknya kinerja Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Agama. Menteri Dalam Negeri tidak menunjukkan kinerja yang dibutuhkan untuk mengatasi praktik dan ekspresi intoleransi dan diskriminasi berbasis agama yang terjadi di tingkat daerah.
Kinerja Menteri Agama sejauh ini juga tidak menunjukkan terobosan yang dibutuhkan, mulai dari penataan institusional untuk memastikan jaminan seluruh agama, termasuk agama lokal atau Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang sudah mendapatkan rekognisi negara melalui Putusan MK, hingga kebijakan penanganan konservatisme keagamaan dan pelintiran kebencian (hate spin) dalam ruang-ruang penyiaran dan pengajaran keagamaan,baik formal maupun informal.
Karena itu, Halali mengatakan salah satu solusi untuk memajukan toleransi ialah dengan memperkuat gerakan masyarakat sipil. Dia bilang masyarakat sipil harus bekerja keras, dan saling membantu memperkuat literasi keagamaan, memperbanyak ruang perjumpaan lintas agama, menghadirkan narasi-narasi keagamaan yang sejuk dan moderat, serta melakukan program konkrit untuk membangun ketahanan sosial lintas identitas.