Kisah Brimob Pengawal Nurhadi yang Bergabung ke Satgas Tinombala
Rabu, 3 Juni 2020 08:22 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Sekretaris Mahkamah Agung, Nurhadi, dan menantunya Rezky Hebriyono ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi pada Senin, 1 Juni 2020 tengah malam. Keduanya ditangkap di sebuah rumah yang ada di kawasan Simprug, Jakarta Selatan.
"Apresiasi dan penghargaan kepada rekan-rekan penyidik dan unit terkait lainnya yang terus bekerja,” kata Wakil Ketua KPK Nawawi Pamolango, Selasa, 2 Juni 2020 dini hari.
Nurhadi telah menyandang status tersangka sejak Desember 2019. KPK telah memanggil Nurhadi 2 kali untuk diperiksa dalam kapasitasnya sebagai tersangka, namun dia selalu mangkir.
Kasus yang menyeret Nurhadi ini merupakan hasil pengembangan operasi tangkap tangan pada 20 April 2016 dengan nilai suap Rp 50 juta yang diserahkan oleh bekas pegawai PT Artha Pratama Anugerah, Doddy Ariyanto Supeno, kepada mantan Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution. Duit tersebut diduga uang muka untuk mengatur perkara.
Seperti dikutip dari Majalah Tempo edisi 18 Juli 2016, Nurhadi dikawal oleh empat anggota Birmob. Tiga dari empat polisi itu berpangkat brigadir. Satu polisi lain Inspektur Dua.
Bahkan KPK, pernah mencoba memeriksa keempat anggota Brimob ini. Mereka rencananya diperiksa sebagai saksi untuk Doddy Aryanto Supeno. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi telah memvonis Doddy Aryanto empat tahun penjara dalam perkara ini.
Di Korps Brimob, keempat pengawal Nurhadi tak punya jabatan resmi yang penting. Tapi KPK seperti membentur tembok ketika hendak memeriksa mereka. Korps Brimob baru memberi lampu hijau untuk pemeriksaan keempat orang tersebut setelah berkas perkara Doddy dilimpahkan dari penyidik KPK ke jaksa penuntut pada 20 Mei 2016.
<!--more-->
Pemeriksaan pertama keempat pengawal Nurhadi kemudian dijadwalkan pada 24 Mei 2016. Ternyata pada panggilan pertama mereka mangkir. Penyidik KPK buru-buru mengirim surat panggilan kedua yang ditembuskan kepada Kepala Polri saat itu yaitu Jenderal Badrodin Haiti dan Kepala Korps Brimob Inspektur Jenderal Murad Ismail. Kali ini KPK menjadwalkan pemeriksaan pada 7 Juni 2016. Namun lagi-lagi keempat anggota korps baret biru ini tidak datang.
Sore harinya, Markas Besar Polri menjelaskan alasan ketidakhadiran keempat anggota Brimob ini. "Mereka dipindahtugaskan ke Poso," kata Kepala Divisi Humas Polri saat itu, Inspektur Jenderal Boy Rafli Amar.
Ia mengatakan keempatnya bergabung dengan Satuan Tugas Tinombala yang memiliki misi memburu kelompok teroris Santoso yang diduga bersembunyi di hutan Sulawesi Tengah. Menurut Boy, mereka dipindahtugaskan pada akhir Mei 2016.
Tim penyidik KPK seperti kecolongan. Sebab, sampai surat pemanggilan kedua dikirim, penyidik mendapat info bahwa keempat pengawal Nurhadi masih berada di Jakarta.
Tak mau kehilangan momentum, penyidik pernah mengusulkan untuk mencari keempat anggota polisi itu ke Poso dan memeriksa mereka di sana. Namun, di tingkat pimpinan, usul "jemput bola" itu seperti maju-mundur. "Bahkan ada yang mencoba mempengaruhi pimpinan KPK agar tak memeriksa mereka," ucap si penegak hukum. Ketua KPK saat itu Agus Rahardjo menolak berkomentar soal ini.
Karena tak bisa diperiksa sampai tenggat pelimpahan perkara, nama keempat anggota Brimob itu tak masuk dakwaan Doddy Aryanto yang dibacakan jaksa pada 29 Juni 2016.
Markas Besar Polri membantah anggapan bahwa mereka sengaja mengirim keempat anggota Brimob itu ke Poso untuk menghindari pemeriksaan oleh KPK. "Ini rotasi murni," ujar Boy Rafli. "Semoga pada pemeriksaan berikutnya bisa didatangkan."
Baca cerita lengkapnya di Majalah Tempo: Lolos Pengawal di Tinombala.